BeritaBisnisEkbisEkonomiEnergiNasional

Inilah Strategi Pemerintah Cegah Lonjakan Impor BBM

BIMATA.ID, Jakarta- Permintaan terhadap bahan bakar minyak (BBM) akan terus meningkat seiring naiknya pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan masyarakat. Untuk mengantisipasi lonjakan impor BBM akibat terus naiknya permintaan, pemerintah menggencarkan program transisi dan diversifikasi energi.

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengatakan, BUMN berupaya keras membantu pemerintah dalam menekan tingginya impor BBM dengan membangun ketahanan energi. Erick menyebutkan, peningkatan impor BBM juga menjadi hal yang tidak terelakan mengingat tingginya kebutuhan industri petrokimia untuk memproduksi obat-obatan hingga pakaian.

BACA JUGA: Menhan Prabowo Terima Kunjungan Senior Minister Singapura H.E. Mr. Teo Chee Hean

“Dengan meningkatnya industri obat-obatan hingga pakaian, jangan kaget kalau impor BBM kita bisa dua kali lipat, bahkan tiga kali lipat dari hari ini, siap tidak kita, belum tentu,” ujar Erick dalam Economic Outlook 2023 bertajuk “Menjaga Momentum Ekonomi di Tengah Ketidakpastian” di Jakarta, Selasa (28/02/2023).

Erick mengatakan, Indonesia patut bersyukur karena dikaruniai sumber daya alam yang melimpah. Dari kekuatan ini, pemerintah bisa melakukan intervensi dengan mengembangkan kendaraan listrik dan BBM nabati.

Keseriusan Indonesia membangun industri kendaraan listrik bukan berarti ingin mendominasi dunia dan menutup diri. Indonesia, Erick melanjutkan, justru mengajak negara lain untuk ikut dalam ekosistem pengembangan kendaraan listrik.

“Kita BUMN terbuka, IBC (Indonesia Battery Corporation) sudah bermitra dengan CATL dan LG, termasuk salah satu yang akan deal nanti saat Bapak Presiden ke Hannover, Jerman, yang mau bangun di sini bersama Volkswagen,” kata Erick.

BACA JUGA: Dasco Instruksikan Kader Menangkan Prabowo di Rakorda Gerindra Sultra

Sebagai negara yang selama ini menjadi pangsa pasar kendaraan konvensional, Erick menyebut, sudah sepantasnya Indonesia kini menjadi pemain dalam industri kendaraan listrik. Hal ini juga bagian dari upaya pemerintah dalam mengatasi tingginya impor BBM.

“Itulah kenapa kita dorong industri kendaraan baterai listrik, siapa tahu ini sukses bisa menekan 50 persen impor BBM kita. Dengan catatan belum tentu karena (kebutuhan impor BBM) untuk petrokimia juga tumbuh terus,” kata Erick.

Erick menambahkan, Indonesia juga dapat menekan impor BBM dengan langkah produksi BBM nabati melalui etanol. Erick menyebutkan, satu juta hektare lahan tebu setara dengan 2,6 juta bioetanol. Menurut Erick pengembangan kendaraan listrik dan BBM nabati menjadi kombinasi sempurna dalam mengikis ketergantungan Indonesia terhadap impor BBM.

BACA JUGA: Kunjungi Pimpinan Timur Tengah, Prabowo Perkenalkan Produk Inovasi Industri Pertahanan Karya Anak Bangsa

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), kebutuhan BBM nasional sangat bergantung terhadap impor. Pada 2021 saja, volume impor minyak mentah sekitar 286 ribu barel per hari.

Untuk menekan impor BBM, PT Pertamina (Persero) sebelumnya telah menyatakan bakal mengembangkan produk campuran bensin dengan metanol. Hal ini menyusul keberhasilan sebelumnya dengan produk biodiesel atau campuran BBM solar dan minyak nabati.

BACA JUGA: Prabowo Pamerkan Inovasi Industri Pertahanan Karya Anak Bangsa di Kancah Internasional

Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menjelaskan, dengan tantangan natural decline dari sumur minyak yang ada di Indonesia saat ini, memaksa negara harus mengimpor minyak mentah. Namun, kata Nicke, untuk memangkas impor ini pihaknya telah menyiapkan sejumlah rencana.

Nicke mengatakan, salah satu strategi memangkas impor bensin adalah dengan mencampurnya dengan metanol. Metanol bisa berasal dari batu bara, gas alam, maupun tebu, dan jagung. BBM campuran metanol ini akan dimulai dengan porsi 20 persen. Sehingga, 20 persen impor bensin bisa dipangkas.

BACA JUGA: Survei Indostrategi, Prabowo Unggul di Semua Kategori Dibanding Ganjar-Anies

Dalam upaya memangkas impor, Pertamina juga memanfaatkan CPO sebagai campuran solar. Berkat program itu, Indonesia sudah tidak mengimpor solar sejak 2019. Saat ini, campuran CPO pada solar sudah mencapai 35 persen.

 

Tags

Tulisan terkait

Bimata
Close