BeritaNasional

Studi Membuktikan 96 Persen Penduduk Indonesia Tahu Soal Stunting, Tapi Tidak Paham Dampaknya Bagi Anakak

BIMATA.ID, Jakarta- Stunting alias anak lahir kerdil dan pendek masih menjadi permasalahan di Industri kesehatan. Pasalnya, berdasarkan data hingga saat ini angka stunting di Indonesia masih terbilang tinggi, yakni 24,4 persen.

Hal ini lantas menjadi pertanyaan mengapa penurunan angka stunting di Indonesia masih terhambat. Apakah masyarakat masih tidak mengetahui tentang stunting, atau adanya kendala lainnya?

Melihat permasalahan tersebut, Health Collaborative Center (HCC) membuat studi Pemaknaan Stunting di Masyarakat Indonesia untuk mengetahui sejauh mana pemahaman masyarakat terkait masalah stunting.

Peneliti Utama dan Chairman Health Collaborative Center (HCC), Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK mengatakan, dari hasil penelitian tersebut, rupanya sebanyak 96 persen responden mengetahui apa itu stunting. Bahkan, mereka percaya kalau stunting itu nyata dan bukan hoax belaka.

“Kita melakukan penelitian kepada responden di 31 provinsi, ternyata sebanyak 96 persen itu tahu stunting. Bahkan sebanyak 89 persen tidak setuju atau sangat tidak setuju kalau stunting itu hoax. Artinya mereka percaya stunting ada,” ungkap Dokter Ray dalam Media Briefing Hasil Studi Pemaknaan Stunting di Masyarakat, Selasa (13/12/2022).

Tidak hanya itu, sekitar 98,3 persen juga percaya kalau stunting di Indonesia berbahaya bagi kesehatan anak. Sementara 71 persen lainnya menyebutkan kalau stunting juga bisa terjadi di kota besar.

Meski hasil dari responden menunjukkan angka baik, lantas apa sih faktor yang menyebabkan penurunan stunting masih terhambat?

Rupanya, dari hasil studi ditemukan masyarakat hanya mengetahui hal-hal dasar saja mengenai stunting. Dokter Ray mengatakan, masyarakat hanya mengetahui tentang stunting tetapi tidak dengan pemaknaannya.

Ia menambahkan, masyarakat masih belum sepenuhnya percaya dampak dari stunting kepada anak meskipun menyebut kondisi ini berbahaya. Bahkan, ada beberapa pemaknaan masyarakat yang berbeda dari teori. Lalu apa saja pemaknaan yang salah tersebut? Berikut ulasannya.

  • 5 dari 10 orang masih tidak percaya dan kurang setuju kalau stunting menghambat kognitif anak. Padahal, dari teori dan penelitian menyebutkan kalau stunting memberikan dampak negatif pada kognitif anak sehingga membuatnya menjadi lambat berpikir.
  • 4 dari 10 masih tidak setuju stunting disebabkan karena kurang nutrisi dan makanan. Padahal, stunting sendiri dapat menjadi tanda kalau gizi anak tersebut belum terpenuhi dengan baik.
  • 6 dari 10 tidak yakin kalau stunting berhubungan dengan pola asuh. Padahal, pola asuh sangat memengaruhi tumbuh kembang anak. Hal ini juga berkaitan dengan pemenuhan gizi anak tersebut serta kognitifnya.
  • 5 dari 10 percaya kalau risiko stunting bukan karena ketidakmampuan membeli pangan. Padahal, kondisi ekonomi yang buruk juga bisa menjadi pemicu stunting. Hal ini karena orang tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan gizi saat hamil dan setelah lahir.
  • 4 dari 10 percaya kalau stunting bukan penyakit atau kondisi medis serius. Padahal, stunting merupakan kondisi medis yang memengaruhi tumbuh kembang anak. Hal ini juga akan memengaruhi kognitif yang buruk.
  • 2 dari 10 tidak yakin bahwa stunting bisa berpengaruh bagi kondisi keluarga secara keseluruhan. Padahal, kondisi stunting dapat memengaruhi kondisi keluarga menjadi buruk.

Itu dia beberapa pemaknaan yang salah di masyarakat sehingga menghambat penurunan angka stunting di Indonesia.

Menanggapi masalah tersebut, Menteri Kesehatan RI Periode 2014-2019, Nila Djuwita Moeloek mengatakan, peningkatan pengetahuan masyarakat terhadap stunting itu sangat penting. Dengan begitu target pemerintah terkait penurunan angka stunting dapat terpenuhi.

“Peningkatan kapasitas pengetahuan kesehatan terkait stunting perlu mendapat perhatian lebih dari pemerintah dan semua pihak, agar target 14 persen penurunan stunting bisa tercapai,” jelas Nila.

 

Tags

Tulisan terkait

Bimata
Close