BeritaNasional

Gubernur BI Beri Tanda-tanda Ekonomi Suram Tahun Depan

BIMATA.ID, Jakarta- Tanda-tanda kondisi ekonomi global bakal suram pada tahun depan tampaknya benar-benar bisa terjadi. Hal tersebut dibuktikan dari pernyataan Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo yang menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi di 2023 bakal melorot.

Hal tersebut dikatakan oleh Perry saat Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI, Senin (21/11/2022).

“Dalam tabel itu pertumbuhan dunia semula tahun ini 3 persen kemungkinan akan turun menjadi 2,6 persen bahkan juga ada risiko-risiko menjadi 2 persen terutama di AS dan di Eropa,” kata Perry.

Prediksi tersebut kata dia telah dibuktikan oleh makin tingginya probabilitas resesi yang dialami oleh Amerika Serikat (AS) hingga Eropa telah mendekati 60 persen.

Tanda-tanda selanjutnya adalah soal ancaman inflasi yang kian meninggi. Dikatakan Perry inflasi global tahun ini diperkirakan mencapai 9,2 persen.

“Inflasi energi, inflasi pangan yang langsung kemudian berhubungan dengan kesejahteraan rakyat,” katanya.

Selanjutnya adalah soal higher interest for longer period of time atau suku bunga yang tinggi yang akan berlangsung cukup lama.

Perry menuturkan kenaikan suku bunga acuan di AS terakhir 75 basis points (bps) menjadi 4 persen. BI memperkirakan kemungkinan Desember akan naik lagi jadi 50 bps sehingga 4,5 persen.

Lebih lanjut, dia melihat Fed Fund Rate ini akan kembali naik menjadi 5 persen.

Alhasil, BI melihat ada kejar-kejaran antara menaikkan suku bunga dan inflasi tinggi. “Ini yang kenapa disebut risiko stagflasi, pertumbuhan yang stagnan menurun bahkan sekarang istilahnya sekarang adalah risiko resflasi, risiko resesi dan tingginya inflasi ini yang ketiga,” lanjutnya.

Selanjutnya adalah fenomena strong dolar. Indeks dolar bahkan sempat mencapai 114, rekor tertingginya. Kondisi ini dirasakan oleh semua negara, tidak terkecuali Indonesia.

“Dolar menguat karena Fed Fund Rate naik dan yield US Treasury yang naik,” ujar Perry.

Dan yang terakhir adalah risiko cash is the king. Hal ini disebabkan karena para orang tajir lebih memilih menumpuk uangnya di instrumen yang likuid, baik cash dan near cash. Lagi-lagi, kondisi ini terjadi di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

“Inilah mengapa terjadi aliran modal keluar,” pungkasnya.

 

Tags

Tulisan terkait

Bimata
Close