BeritaHukumNasional

MK Gelar Sidang Uji Materiil UU Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHP

BIMATA.ID, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia (RI), menggelar sidang perdana uji materiil Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHP) di Ruang Sidang Pleno MK RI, pada Senin, 17 Oktober 2022.

Perkara Nomor 96/PUU-XX/2022 itu dimohonkan oleh Rudi Hartono Iskandar, yang mendalilkan Pasal 7 Ayat (1) huruf a, Pasal 5 Ayat (1) huruf a ke-1, Pasal 1 angka 24, dan Pasal 109 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bertentangan dengan Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945.

Dalam persidangan secara daring, Kuasa hukum Pemohon, Alamsyah Hanafiah menyebutkan, kasus konkret Pemohon yang mendapatkan 11 surat perintah penyidikan (Sprindik) untuk kasus dan objek yang sama dalam laporan polisi (LP) Nomor LP/656/VI/2016/BARESKRIM tertanggal 27 Juni 2016.

Pemohon merupakan tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) pengadaan tanah untuk pembangunan rumah susun dan ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Januari 2022.

Atas penetapan tersebut, Pemohon mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat (PN Jakbar) untuk memohon pengadilan agar membatalkan penetapan tersangka atas diri Pemohon.

Singkatnya, penetapan tersangka itu dinyatakan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Akibat surat tersebut, Pemohon harus bolak-balik dan mondar-mandir untuk diperiksa penyidik bahkan hingga tujuh tahun.

Pemohon mengemukakan, Pasal a quo tidak mengatur tentang surat penyidikan. Sehingga, kepolisian dapat bertindak sewenang-wenang dan sekehendak hati yang dapat melampaui hak-hak Pemohon.

“Selain itu, Pemohon juga mengajukan permohonan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang, tidak terjadi rekayasa hukum, dan tidak terjadi diskriminasi hukum terhadap suatu kasus sangkaan tindak pidana yang berpotensi terjadi pemerasan oleh penyidik,” ujar Alamsyah, dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi, Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi, Wahiduddin Adams dan Hakim Konstitusi, Daniel Yusmic P Foekh.

“Supaya penyidik tidak melakukan hal-hal tersebut, ini sudah sampai 7 tahun dan terkesan menggantung perkara dan tidak juga menghentikan surat penyidikannya,” tuturnya.

Hakim Konstitusi, Wahiduddin Adams menuturkan, sistematika permohonan masih belum memuat beberapa aturan yang berkaitan dengan kewenangan MK RI, seperti pada UU MK RI, UU P3, dan PMK RI terbaru yang perlu diuraikan pada lembar permohonan.

Selanjutnya, Pemohon perlu menambahkan bunyi dari empat norma yang ingin diuji secara lengkap disertai dalil dalam konstitusi yang menjamin hak-hak konstitusional Pemohon. Sehingga, terlihat jelas pertentangan yang dimaksudkan.

Berikutnya, Pemohon perlu melihat kembali putusan-putusan MK RI terdahulu yang terkait dengan beberapa pasal yang juga diujikan pada perkara ini, di antaranya Putusan MK RI Nomor 4/PUU-XX/2022, dengan amar ditolak yang perlu dipelajari oleh Pemohon untuk menjadi pedoman dalam memperkuat dalil pada permohonan tersebut.

Sementara itu, Hakim Konstitusi, Daniel Yusmic P Foekh menyampaikan, perlunya menguraikan secara jelas tentang kerugian konstitusional Pemohon yang dikaitkan dengan butir norma yang diujikan.

Di tempat yang sama, Hakim Konstitusi, Suhartoyo menekankan, mengenai 11 Sprindik yang didapatkan Pemohon untuk diperhatikan lagi tentang implementasi norma atau norma yang benar-benar bermasalah, sehingga merugikan hak konstitusional Pemohon.

Pada akhir persidangan, Suhartoyo menyampaikan, MK RI memberikan waktu 14 hari bagi Pemohon untuk menyempurnakan permohonan, sebagaimana catatan yang telah dijabarkan para hakim konstitusi.

Naskah perbaikan itu dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Senin, 31 Oktober 2022 pukul 09.00 WIB ke Kepaniteraan MK RI.

[MBN]

Tags

Tulisan terkait

Bimata
Close