BeritaNasionalPeristiwaPolitikUmum

Pengamat Politik: Prabowo-Gibran Butuh Minimal 60 Persen Kekuatan Parlemen Agar Pemerintah Stabil

BIMATA.ID, Jakarta- Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (Indostrategic) Ahmad Khoirul Umam mengatakan, Koalisi Indonesia Maju yang mengusung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka masih membutuhkan kekuatan tambahan di parlemen. Untuk membentuk pemerintahan yang stabil, menurutnya, eksekutif harus mengantongi lebih dari 50 persen kekuatan di legislatif.

“Untuk menghadirkan lingkungan politik dan pemerintahan baru yang stabil dalam transisi kekuasaan, maka dibutuhkan setidaknya 60 persen kekuatan parlemen,” kata Umam, Kamis (25/4/2024).

BACA JUGA: Temui Muhaimin dan Surya Paloh, Anthony Leong: Kematangan Politik Prabowo Level Dewa

Menurut hasil Pemilu 2024, gabungan suara empat partai anggota Koalisi Indonesia Maju, yakni, Gerindra, Golkar, Demokrat, dan Partai Amanat Nasional (PAN) “hanya” menghasilkan 43,18 persen kekuatan di parlemen atau setara 48,2 persen kursi DPR RI. Oleh karena itu, merapatnya Partai Nasdem dan PKB ke koalisi tersebut dipandang penting untuk memperbesar kekuatan Prabowo-Gibran.

“Dalam konteks ini, pendekatan Prabowo dengan Nasdem dan PKB, setidaknya akan menggenapkan kekuatan politik pemerintahan Prabowo-Gibran menjadi sekitar 70 persen,” ujar Umam.

Seandainya gugatan perselisihan hasil pemilu (PHPU) yang diajukan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan PPP merapat ke Prabowo-Gibran, koalisi ini bakal kian besar dengan kekuatan parlemen sekitar 64 persen. Umam menilai, jumlah tersebut sudah lebih dari cukup untuk sebuah pemerintahan dengan sistem presidensial yang berada di tengah sistem multipartai.

“Selanjutnya, pemerintahan Prabowo-Gibran hendaknya tetap membuka ruang bagi hadirnya kekuatan oposisi yang memadai, untuk menjaga cheking and balancing system dalam mekanisme demokrasi dan tata kelola pemerintahan,” katanya.

Di sisi lain, lanjut Umam, sulit bagi PDI Perjuangan dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk kompak seandainya kedua partai menjadi oposisi pemerintahan mendatang. Sebab, basis ideologi PDI-P dan PKS sangat berbeda, bahka bahkan bertolak belakang.

Umam mengatakan, PDI-P dan PKS memang berpeluang memainkan peran kritis dalam konteks kebijakan publik. Namun, keduanya diyakini akan kesulitan untuk membangun gerakan politik oposisional yang solid dan memadai lantaran ada akar faksinalisme akut akibat perbedaan ideologi.

BACA JUGA: PRIDE : PKS Akan Ikuti Jejak PKB dan Nasdem Masuk Koalisi Prabowo Gibran

“Jika PKS dan PDI-P menjadi kekuatan oposisi, maka hal itu akan menguntungkan pemerintahan Prabowo-Gibran,” tutur dosen Universitas Paramadina itu.

Sebagaimana diketahui, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka ditetapkan sebagai presiden dan wakil presiden terpilih RI masa jabatan 2024-2029 oleh KPU RI pada Senin (22/4/2024).

Pasangan ini memenangi Pilpres 2024 dengan perolehan 96.214.691 suara atau sekitar 58,58 persen dari seluruh suara sah nasional. Sementara, pasangan capres-cawapres nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, mengekor di urutan kedua dengan raihan 40.971.906 suara atau sekitar 24,95 persen.

Di urutan buntut, capres-cawapres nomor urut 3, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, menghimpun 27.040.878 suara atau sekitar 16,47 persen dari seluruh suara sah nasional. Meski begitu, Prabowo-Gibran belum resmi menjadi presiden dan wakil presiden RI. Menurut jadwal, pelantikan keduanya bakal digelar pada 20 Oktober 2024.

baca juga: Pengamat : PKB Berpeluang Perkuat Politik Islam di Koalisi Prabowo Gibran

Baru-baru ini, Partai Nasdem dan PKB menyatakan dukungan ke pemerintahan Prabowo-Gibran. Sehingga, sampai saat ini, tersisa PDI-P dan PKS yang belum bersikap, apakah bakal merapat ke kubu pemenang, atau tetap berada di luar sebegai oposisi.

 

Tags

Tulisan terkait

Bimata
Close