BeritaHukumNasionalPolitikRegional

Miris Bupati Lakukan Pelecehan, Kris Dayanti: Budaya Relasi Kuasa Pimpinan ke Pegawai Harus Diputus

BIMATA.ID, Jakarta – Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Krisdayanti (KD), mengungkapkan keprihatinan mendalam atas dugaan pelecehan seksual yang dilakukan Bupati Maluku Tenggara terhadap seorang pegawai cafe nya yang diketahui bernama TSA (21). Kris Dayanti menyoroti perlunya memutus budaya hubungan kekuasaan dari atasan ke bawahan.

“Sungguh memprihatinkan kejadian seperti itu dilakukan oleh seorang pemimpin daerah yang seharusnya melindungi konstituennya. Apalagi menyangkut dinamika kekuasaan antara atasan dan pegawainya,” kata Kris Dayanti dalam keterangan kepada media, Jumat (22/9).

Dugaan kekerasan seksual yang dilakukan Bupati Maluku Tenggara ini dikabarkan dilakukan berkali-kali terhadap korban yang bekerja di kafe milik pelaku. TSA juga dikabarkan diperkosa oleh Bupati Maluku Tenggara, dan korban kemudian melapor ke polisi.

Baca Juga : Prabowo Yakin Indonesia Bisa Jadi Lumbung Pangan Dunia

Sebagai anggota Komisi DPR yang membidangi masalah ketenagakerjaan dan kesehatan, Kris Dayanti fokus pada budaya relasi kekuasaan antara atasan dan bawahan di tempat kerja. Menurutnya, banyak kasus pelecehan seksual terjadi akibat dinamika kekuasaan tersebut.

“Pelecehan seksual terjadi karena atasan merasa mempunyai kekuasaan terhadap karyawannya. Seringkali karyawan menahan diri untuk tidak melaporkan pelecehan seksual yang dilakukan atasannya karena takut membahayakan pekerjaannya,” jelasnya.

KD mengusulkan agar terganggunya relasi kekuasaan di tempat kerja bisa dilakukan melalui penerapan tegas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Kekerasan Seksual (TPKS). Ia menegaskan, siapa pun yang melakukan kekerasan seksual di tempat kerja dapat dikenakan tuntutan pidana berdasarkan UU TPKS.

Cek Juga : Deretan Artis di Partai Besutan Prabowo: Ada Ahmad Dhani Sampai Melly Goeslaw

“Apa yang terjadi dalam kasus ini merupakan bentuk eksploitasi seksual yang dapat dituntut berdasarkan undang-undang TPKS. Perbuatan tersebut juga melanggar undang-undang ketenagakerjaan, dimana pengusaha wajib memastikan pekerjanya bebas dari pelecehan seksual,” tegas KD.

“Karena kekerasan seksual merupakan penghinaan terhadap harkat dan martabat manusia serta norma moral dan etika,” imbuhnya.

Berdasarkan Pasal 12 UU TPKS, pelaku eksploitasi seksual dapat diancam pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar Rupiah). Pelaku perorangan yang mempunyai wewenang juga dapat menerima tambahan 1/3 dari hukuman.

Sedangkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Hak Ketenagakerjaan menyatakan bahwa setiap pekerja berhak atas perlindungan keselamatan, kesehatan, moral, etika, dan perlakuan sesuai dengan martabat kemanusiaan dan nilai-nilai agama. Hak-hak ini harus dijunjung tinggi oleh pemberi kerja.

Selanjutnya, sejalan dengan UU TPKS, Kementerian Ketenagakerjaan telah menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 88 Tahun 2023 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja.

“Oleh karena itu, budaya relasi kekuasaan antara pimpinan hingga pegawai dapat dan harus diganggu, karena kita memiliki banyak peraturan yang mengatur tentang perlindungan tempat kerja, khususnya perlindungan pekerja perempuan dari pelecehan atau kekerasan seksual,” tegas KD.

Simak Juga : Prabowo Tak Ambil Pusing Jadi Sasaran Fitnah, Prabowo: Hadapi Masalah Bangsa Jauh Lebih Besar

KD yang mewakili daerah pemilihan Jawa Timur V juga meminta pemerintah lebih gencar melakukan sosialisasi dan edukasi terkait produk hukum dan peraturan yang bertujuan mencegah kekerasan seksual. Menurut KD, hal ini terutama harus menyasar pada pencegahan kekerasan seksual terhadap perempuan.

Sebab, seperti kita ketahui, banyak korban kekerasan seksual yang berasal dari kalangan perempuan. Diperlukan kesadaran seluruh lapisan masyarakat untuk melaporkan kepada pihak berwajib ketika mengetahui adanya kasus kekerasan seksual di tempat kerja, imbaunya.

KD juga menyinggung permasalahan kesehatan fisik dan mental yang dihadapi TSA, korban pelecehan seksual yang dilakukan Bupati Maluku Tenggara. Kekerasan seksual tentu saja meninggalkan luka emosional yang mendalam.

“Masalah kesehatan mental korban kekerasan seksual tidak boleh diabaikan. Trauma psikologis bersifat jangka panjang dan berdampak pada kesehatan mental korban. Hal ini tentunya akan berdampak pada kualitas hidup korban di kemudian hari,” jelas KD.

Tags

Tulisan terkait

Bimata
Close