Opini

Budaya Kuda Lumping dan Perkembangannya Pada Masyarakat Transmigran

Waris Sutrisno, Mahasiswa Pasca Sarjana Institut Kesenian Jakarta

BIMATA.ID, OPINI – Pemandangan nan asri serta gemercik air terdengar dari tepi sungai di belakang rumah, airnya mengalir dari sungai ke sungai hingga sampai ke ladang petani, di kaki gunung Kota Malili Kabupaten Luwu Timur Provinsi Sulawesi Selatan.

Daerah yang dijuluki sebagai Bumi Batara Guru ini, memiliki begitu banyak potensi di dalamnya, seperti panorama wisata alam, hasil bumi serta suku budayanya yang beragam. Salah satu budaya yang masih ada sampai sekarang adalah tari kuda lumping

Pada dasarnya kuda Lumping adalah kesenian tari yang berasal dari pulau Jawa, yang mana keberadaannya sudah ada sejak zaman kolonial belanda. Saya pertama kali melihat tari kuda lumping ini di Desa Mulyasri Kecamatan Tomoni Kabupaten Luwu Timur.

Meninjau bahwa asal-usul dari kuda lumping ini adalah pulau jawa, akhirnya muncul pertanyaan, bagaimana kesenian tari kuda lumping ini bisa ada di bumi batara guru ini? Jawabannya sederhana, mari kita simak.

Secara geografis, Kabupaten Luwu Timur adalah salah satu daerah transmigran yang ada di Sulawesi Selatan. Jadi secara culture/budaya, Luwu Timur memiliki bermacam-macam budaya, bahkan bisa dikatakan sebagian besar budaya yang terdapat di Indonesia ada di Luwu Timur.

Budaya-budaya tersebut diantaranya yakni budaya pamona, bugis, makassar, toraja, mandar, Lombok, bali, sunda, dan yang terakhir  budaya Jawa dengan tari kuda lumpingnya.

Pada masa kolonialisasi, kesenian tari kuda lumping mempunyai peranan yang sangat penting bagi masyarakat suku jawa. Pasalnya pada masa itu kuda lumping digunakan sebagai media atau sarana upacara ritual sekaligus sebagai media untuk berkomunikasi dengan arwah para leluhur.

Seiring perkembangan zaman, budaya tari kuda lumping ini juga mengalami pergeseran, baik dari perspektif makna maupun fungsinya. Bagi Kelompok kesenian jawa transmigran yang ada di di Kabupaten Luwu Timur, khususnya di Desa Mulyasri, kini menggunakan budaya tari kuda lumping hanya sebagai pertunjukan seni hiburan, seperti hiburan di pesta pernikahan maupun acara seremonial lainnya.

Selain itu masyarakat setempat menggunakan tari kuda lumping ini sebagai sumber pendapatan finansial bagi individu maupun kolektif/kelompok mereka.

Perkembangan zaman yang semakin pesat, mengharuskan para pelaku seni khususnya kuda lumping melakukan inovasi/ide baru, untuk mengembangkan kebudayaan yang telah ia tekuni sejak lama, menjadi lebih menghasilkan profit.

Bagaimana tidak, kondisi ekonomi yang kian melilit serta lowongan pekerjaan juga makin sulit, memaksa mereka (praktisi seni)  melakukan pengembangan-pengembangan agar lebih menarik perhatian pasar. Inovasi-inovasi tersebut bisa dilihat dari unsur musiknya maupun bentuk penyajiannya di masyarakat.

(***)

Tags

Tulisan terkait

Bimata
Close