OpiniOpini

Resesi, Pagebluk, dan Reshuffle Kabinet

Resesi, Pagebluk, dan Reshuffle Kabinet*

BIMATA.ID, Jakarta – Thailand, menyusul Malaysia, Singapura, dan Filipina sebagai negara di kawasan ASEAN yang mengumumkan mengalami resesi ekonomi akibat pagebluk corona. Sebelumnya, Inggris, AS, Jerman, Prancis, Italia, Spanyol, Polandia, Korea Selatan, Jepang, Hongkong, juga menyatakan hal serupa, jatuh ke jurang resesi, usai pertumbuhan ekonominya minus selama dua kuartal beruntun di 2020.

Meski belum diumumkan Pemerintah, secara teknis, sejatinya Indonesia mengarah pada kondisi yang sama dengan 14 negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 5.37 persen di kuartal kedua. Sementara di kuartal pertama, walaupun pertumbuhan positif, namun hanya di angka 2.97 persen.

Namun, Pemerintah optimistis resesi bisa dihindari bila pertumbuhan ekonomi di kuartal ketiga tumbuh positif. Demi mencapai itu, Pemerintah menyiapkan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020.

Program dalam bentuk bantuan sosial (Bansos), baik melalui subsidi listrik, bantuan langsung tunai (BLT), maupun stimulus kredit kepada masyarakat ini diniatkan sebagai penopang untuk menjaga daya beli masyarakat.

Sayang, upaya pemerintah menggenjot pertumbuhan ekonomi melalui PEN dengan anggaran Rp695,2 triliun hingga kini belum terlihat hasilnya. Sebab utamanya adalah karena penyerapan anggaran PEN yang sangat lambat.

Hingga Senin (10/8), pagu anggaran PEN sebesar Rp695,2 triliun baru terealisasi sekitar Rp151,25 triliun saja, atau 21.8 persen, kemudian naik menjadi sebesar Rp192,53 triliun, atau 27,7 persen per 26 Agustus 2020.

Meski begitu, Satgas PEN mengklaim ada kenaikan realisasi sebesar Rp190,5 triliun, atau 39 persen hingga 2 September.

Capainnya, program perlindungan sosial realisasinya sudah mencapai Rp114,11 triliun, atau 55,68 persen dari pagu Rp204,95 triliun. Program UMKM realisasinya sebesar Rp58,53 triliun, atau 47,41 persen dari pagu Rp123,4 triliun. Program sektoral kementerian/lembaga dan pemda sebesar Rp17,86 triliun, atau 16,84 persen dari pagu Rp106,05 triliun, sementara belum ada realisasi dari program pembiayaan korporasi di mana pagu anggarannya Rp53,60 triliun.

Presiden Joko Widodo pun menyampaikan kekecewaannya hingga beberapa kali terhadap penyerapan anggaran yang sangat lambat itu. Bahkan, Selasa, (1/9), Jokowi mengimbau masyarakat untuk siap-siap menghadapi resesi. Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD dan Menteri Keuangan Sri Mulyani juga menegaskan hal sama, bahwa Indonesia 99 persen akan mengalami resesi.

Bila terbukti September ini pertumbuhan ekonomi kembali minus, dipastikan pemutusan hubungan kerja (PHK) akan marak terjadi, akibatnya angka pengangguran semakin meningkat, dan jumlah masyarakat miskin menaik tajam.

Masyarakat tidak hanya akan mengalami daya beli yang rendah, sehingga kesulitan mengakses kebutuhan sembako, tapi juga rentan terjadi konflik sosial. Sejumlah kalangan bahkan menyebut situasi saat ini bisa lebih buruk dari krisis 1998.

Hal ini karena kondisi tak membaik juga terjadi pada penanganan COVID-19. Sudah enam bulan sejak Indonesia terjangkit pagebluk corona, angka korban pandemi ini terus bertambah tiap harinya, dan tak ada tanda penurunan.

Bahkan, penambahan jumlah kasus coronavirus mencapai rekor tertinggi sebanyak 3.308 orang dalam satu hari pada Sabtu (29/8) lalu. Lebih memprihatinkan lagi adalah jumlah korban meninggal dari kalangan tenaga medis yang juga terus bertambah, menyentuh angka 181 orang, 104 di antaranya dokter.

Ironisnya, masyarakat juga kesulitan untuk melakukan pemeriksaan rapid test, maupun polymerase chain reaction (PCR) atau tes swab. Harga untuk rapid test dipatok Pemerintah paling mahal Rp150 ribu, namun fakta di lapangan masih banyak di atas ketentuan tersebut.

Terlebih swab test, harga untuk pemeriksaan di rumah sakit hingga Rp2,5 juta. Padahal harga sekali pemeriksaan spesimen tidak lebih dari Rp500 ribu. Masih kecilnya angka masyarakat yang melakukan pemeriksaan coronavirus menjadi salah satu sebab kenapa angka korban COVID-19 terus bertambah.

Muncul pertanyaan, apakah Pemerintahan Jokowi mampu menangani wabah corona, dan ancaman resesi dalam satu waktu bersamaan, mengingat lambatnya kinerja para pembantunya?

Lalu, apakah Jokowi keukeuh mempertahankan line up para pembantunya tanpa ada pergantian, walaupun kinerjanya jeblok? Kalau ada reshuffle, pos menteri apa saja yang layak dirombak karena kinerjanya yang tidak maksimal dalam satu tahun jalannya pemerintahan.

Pemerintah memang optimistis mampu menghadapi pandemi, dan menghindari resesi dalam waktu bersamaan. Namun, gagapnya para pembantu presiden dalam manajemen pengendalian dan penanganan pagebluk membuat kita patut khawatir dengan kemampuan Pemerintah menangani wabah coronavirus.

Bahkan, New York Times (Amerika Serikat) dan The Guardian (Inggris) menyoroti Pemerintah Indonesia yang tidak mampu merancang perencanaan program yang jelas, terukur, dan komprehensif dalam menangani wabah COVID-19.

Kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah juga dinilai kerap berubah, dan sepotong-sepotong. Program yang digulirkan pun banyak yang kurang strategis. Parahnya, Pemerintah dinilai tidak transparan dalam memberikan informasi sebenarnya kepada masyarakat dan dunia internasional mengenai perkembangan penanganan pagebluk.

Sorotan kedua media berpengaruh di AS dan Inggris itu berdasar dari sikap apatis Pemerintah di awal pandemi ini muncul di China, hingga masuk ke Indonesia. Di awal wabah, Indonesia dinilai meremehkan, namun ketika sudah terjangkit Indonesia paling lambat dan sedikit melakukan tes, penyedian alat pelindung diri bagi tenaga kesehatan, hingga kapasitas ruang pasien yang terbatas.

Hingga akhirnya Jokowi membentuk Komite Penanganan PEN dan COVID-19 pun, yang diharapkan mampu mengakselerasi penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi, nyatanya tersendat akibat ketidakmampuan para menterinya bekerja dalam situasi krisis.

Kita berulangkali melihat bagaimana Jokowi marah dan kesal terhadap para menterinya karena sangat lambat dalam bekerja. Bahkan, Jokowi menilai beberapa menteri masih berparadigma tidak sedang terjadi krisis. Kemarahan Jokowi ini disampaikan saat rapat kabinet 18 Juni 2020, dan diunggah dalam video di akun Youtube Sekretariat Presiden, Minggu, 28 Juni 2020.

Jokowi pun mengancam akan melakukan segala upaya, termasuk reshuffle, agar kinerja kabinet membaik. Ketidakmampuan para menteri juga mengundang desakan publik untuk dilakukan reshuffle kabinet. Terlebih, usia kabinet menginjak satu tahun pada 20 Oktober mendatang.

Setidaknya ada beberapa pos menteri yang banyak disorot karena dianggap gagap, dan tidak mampu beradaptasi menghadapi krisis. Jokowi pun menyebutkannya secara langsung kementerian yang dimaksud. Yakni kesehatan, bantuan sosial, UMKM, dan stimulus ekonomi.

Para menteri di sektor itu dalam beberapa survei juga menunjukkan kinerja yang rendah. Jokowi bisa saja mengganti para menteri tersebut, atau menggeser menteri koordinator yang membawahi sektor-sektor tersebut. Mengingat kinerja menteri juga tergantung arahan atau koordinasi dari menko-nya.

Terus-menerus didesak untuk merombak kabinet, Jokowi pun menjawabnya di depan para pemimpin redaksi media nasional dan daerah, Jumat 4 September 2020 lalu, di Istana Bogor.

“Masa pandemi gini reshuffle,” jawab Jokowi singkat.

Keputusan sepenuhnya ada di tangan Jokowi yang memiliki hak prerogatif mengangkat dan memberhentikan menterinya. Mengingat kinerja Pemerintahan yang tak kunjung membaik, agaknya merombak kembali susunan kabinet adalah salah satu jalan keluar yang solutif.

Mempertahankan menteri yang tak layak dan berkinerja jeblok, apalagi tak memiliki sense of crisis, lebih rentan tidak hanya bagi kelanjutan Pemerintahan, namun juga nasib masyarakat Indonesia ke depannya. Jokowi mesti berani mengambil sikap terhadap menterinya yang tidak berfaedah itu.

Negara ini membutuhkan menteri yang bisa bekerja di masa krisis, yang mampu menggerakkan kementeriannya bekerja di masa new normal.

* Eroby J Fahmi, Jurnalis

Tags

Tulisan terkait

Bimata
Close