BIMATA.ID, Jakarta- Kepolisian Resort Kota Bandara Soekarno-Hatta mengungkap perdagangan ilegal berbagai jenis reptil melalui jasa penitipan barang (kargo) udara. Sebanyak, 153 reptil disita.
Wakapolresta Bandara Soekarno-Hatta, AKBP Yessi Kurniati, menerangkan kasus ini terungkap setelah Satuan Reskrim Polresta Bandara Soetta curiga dengan empat boks paket yang berada di Terminal Kargo Bandara Soekarno-Hatta.
“Jumlah empat koli dengan total hewan 153 ekor. Ada empat jenis satwa, ada Ular Monopohon, Soa Layar, kemudian ada ular Patola Halmahera, dan kadal Panana atau lidah biru,” terang Wakapolres AKBP Yessi Kurniati, Jumat (5/6).
Empat koli berisi 153 ekor reptil ilegal itu dikirim dari Ambon menuju Jakarta. Setelah tiba di Jakarta, reptil itu akan diperjualbelikan.
Reptil yang diperjualbelikan itu berasal dari Papua, Papua Nugini, dan Australia. Adapun rinciannya, 85 ekor Soa Layar, 45 ekor Kadal lidah biru dan Panana, 20 ekor ular Monopohon dan tiga ular Patola.
“Panana atau kadal lidah biru ada 45 ekor tidak beracun dan penyebarannya itu ada di Maluku, Papua, dan Australia. Lalu ada ular Monopohon 20 ekor yang sering dikenal ular boa terkecil dunia yang hanya ditemukan di Papua dan Papua Nugini,” terang dia.
Sementara untuk ular Patoa Halmahera, adalah jenis reptil ular non berbisa yang biasanya ditemukan di Papua, Papua Nugini, dan Australia.
Sedangkan Kadal Soa Layar dan Panana bukan hewan yang dilindungi. Namun, pengirim tidak bisa menyertakan surat kepemilikan, serta surat pengiriman hewan.
Yessi menambahkan, proses pengiriman hewan reptil haruslah dilengkapi dokumen lengkap. Berupa Surat Angkut Tumbuhan Satwa Liar Dalam Negero (SATSL-DN) dan sertifikat Kesehatan dari Kantor Karantina Soekarno-Hatta.
“Dan untuk Ular monopohon dan Ular Patoa masih menjadi reptil yang dilindungi. Kenapa diamankan, karena pengangkutan hewan liar ini harus dilengkapi surat angkut tumbuhan satwa liar dalam negeri tapi tidak disertai,” jelas Yessi.
Dua pelaku yakni TK pemilik barang dan TD seorang sopir ditangkap petugas. Kedua pelaku disangkakan Pasal 36 UU nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dengan ancaman hukuman denda maksimal Rp 250 juta.
“Keduanya juga disangkakan pasal 87 UU RI nomor 21 tahun 2019 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan dengan ancaman dua tahun penjara atau dendan maksimal Rp 2 miliar,” tutup Yessi.
Editor : FID
Sumber Merdeka.com