BIMATA.ID, JAKARTA- Pemerintah telah kehilangan empati dan kepekaan terhadap persoalan rakyat. Ketika sebagian besar masyarakat menghadapi impitan ekonomi akibat pandemi Covid-19, Presiden Joko Widodo justru menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Meski program ini disebut bertujuan baik, waktu pengumumannya sungguh tak tepat.
Melalui peraturan tersebut, para pekerja berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi peserta Tapera. Iuran simpanan peserta ditetapkan sebesar 3 persen dari gaji atau upah, dengan rincian 2,5 persen ditanggung pekerja dan 0,5 persen dibayar pemberi kerja. Para pekerja yang dimaksud meliputi aparat sipil negara, anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian RI, pegawai badan usaha milik negara, serta pegawai swasta. Adapun pegawai mandiri menanggung sendiri simpanannya.
Peraturan ini terbit pada saat yang tidak tepat. Jutaan orang kehilangan pekerjaan akibat pandemi. Sebagian gaji pekerja aktif pun dipotong demi mempertahankan hidup perusahaan. Daya beli masyarakat menurun. Beban pekerja, terutama yang berada di level upah minimum, akan makin berat jika dipaksa menabung untuk perumahan. Apalagi pemerintah baru saja menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan hampir seratus persen, yang akan berlaku mulai 1 Juli 2020.
Bukan hanya masyarakat berpenghasilan rendah yang terbebani Tapera, yang akan berlaku mulai Januari tahun depan. Para pengusaha yang sedang kesulitan mengatur arus kas perusahaan karena kegiatan usaha berhenti hampir tiga bulan pun bakal kelimpungan. Mereka sebenarnya membutuhkan kebijakan yang probisnis serta stimulus untuk menggerakkan kembali usahanya.
Pada masa sulit ini, pemerintah semestinya justru meringankan beban masyarakat. Perumahan bukan prioritas pekerja di tengah pandemi ini. Memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja sudah susah, apalagi menyisihkan sebagian penghasilan untuk tabungan perumahan. Pemerintah bisa melaksanakan program tersebut kelak ketika pandemi sudah berlalu, perekonomian negara membaik, arus kas pengusaha pulih, dan pendapatan pekerja kembali normal. Dalam kondisi demikian, pemberlakuan peraturan Tapera akan efektif membantu pekerja memiliki rumah.
Terbitnya peraturan ini juga menegaskan pemerintah lepas tanggung jawab dalam menyediakan tempat tinggal yang layak bagi warga negara seperti amanat konstitusi. Pemerintah berdalih iuran tabungan perumahan itu untuk membantu mewujudkan mimpi pekerja memiliki rumah. Namun, dengan Tapera, tanggung jawab pemerintah tersebut menjadi tidak berfungsi karena dana pembangunan rumah dibebankan kepada rakyat.
Persoalan lain yang perlu dicermati adalah kredibilitas lembaga negara dalam mengelola dana masyarakat. Penghimpunan dan pengelolaan dana yang mencapai puluhan triliun rupiah per tahun, yang dikembangkan melalui investasi, itu berpotensi menimbulkan risiko moral jika tak dilaksanakan dengan tata kelola yang baik. Pemerintah harus mengawasinya dengan ketat agar dananya tidak menjadi bancakan pihak-pihak tak bertanggung jawab.
Badan Pengelola Tapera mesti berkaca pada kasus gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya. Kasus yang menimpa perusahaan pelat merah itu menggambarkan problem laten perusahaan negara, yakni pengelolaan keuangan yang buruk dan investasi yang sembrono. Pengelolaan dana yang seharusnya bermanfaat bagi rakyat justru menimbulkan persoalan baru yang membebani keuangan negara.