BeritaPolitik

Puan Minta Kemenaker Tinjau Ulang Tata Cara Pencairan JHT

BIMATA.ID, Jakarta – Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI), Puan Maharani meminta, Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) RI untuk meninjau ulang tata cara pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) bagi masyarakat.

“Perlu diingat, JHT bukanlah dana dari pemerintah, melainkan hak pekerja pribadi karena berasal dari kumpulan potongan gaji teman-teman pekerja, termasuk buruh,” ujarnya, dalam keterangan tertulis, Senin (14/02/2022).

Puan menyebutkan, hal itu menyoroti Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) RI Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT yang dapat banyak penolakan.

Banyak penolakan lantaran Permenaker RI baru ini mengubah cara pencairan JHT. Lewat beleid tersebut, klaim JHT baru bisa dilakukan 100 persen saat pekerja berada pada usia masa pensiun, yaitu 56 tahun, mengalami cacat total tetap, dan meninggal dunia (kepada ahli waris).

“Kebijakan itu sesuai dengan peruntukan JHT. Namun, kurang sosialisasi dan tidak sensitif terhadap keadaan masyarakat, khususnya para pekerja,” tandas Puan.

Puan menilai, Permenaker RI tersebut memberatkan para pekerja yang membutuhkan pencairan JHT sebelum usia 56 tahun. Apalagi, dalam kondisi pandemi Covid-19 tidak sedikit pekerja yang kemudian di rumahkan atau bahkan terpaksa keluar dari tempatnya bekerja.

“Banyak pekerja yang mengharapkan dana tersebut sebagai modal usaha, atau mungkin untuk bertahan hidup dari beratnya kondisi ekonomi saat ini. Sekali lagi, JHT adalah hak pekerja,” imbuh Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini.

Meski para pekerja yang terdampak PHK (pemutusan hubungan kerja) bisa memanfaatkan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), hal itu dianggap tidak cukup. Puan menilai, JKP bukan solusi cepat bagi pekerja yang mengalami kesulitan ekonomi.

“Program JKP sendiri baru mau akan diluncurkan akhir bulan ini. Untuk bisa memanfaatkannya, pekerja yang di-PHK harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang prosesnya tidak sebentar,” urainya.

Salah satu kriteria bagi penerima manfaat JKP adalah dengan membayar iuran program JKP enam bulan berturut-turut selama 12 bulan dalam 24 bulan saat masih bekerja. Belum lagi, dana yang diterima pun tidak bisa langsung seperti layaknya JHT.

“Lantas bagaimana dengan pekerja yang kemudian mengalami PHK untuk 24 bulan ke depan dan membutuhkan dana? Mereka tidak bisa langsung menerima manfaat JKP, tetapi juga tidak bisa mencairkan JHT,” sambung Puan.

Puan pun menilai, subsidi atau bantuan sosial dari Pemerintah RI tidak bisa menjadi jawaban utama untuk masyarakat yang terkena dampak PHK. Selain karena program tersebut belum bisa menjangkau seluruh korban PHK, subsidi dan bansos bukan solusi jangka panjang.

“Padahal, masyarakat harus terus melanjutkan hidup. Mereka harus mampu bertahan dengan mencari nafkah untuk menghidupi diri dan keluarganya,” pungkas mantan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) RI ini.

Oleh karenanya, Permenaker RI Nomor 02 Tahun 2022 ditinjau kembali. Puan juga mengingatkan, Pemerintah RI untuk melibatkan semua pihak terkait dalam pembahasan persoalan JHT, termasuk perwakilan para pekerja/buruh dan DPR RI.

“Dalam membuat kebijakan, pemerintah harus melibatkan partisipasi publik dan juga perlu mendengarkan pertimbangan dari DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat,” tuturnya.

[MBN]

Tags

Tulisan terkait

Bimata
Close