BeritaEkonomiEnergiInternasionalNasional

Persediaan Nikel Melimpah, Pemerintah Optimis RI Jadi Pemain Global

BIMATA.ID, Jakarta- Pemerintah Indonesia terus berupaya mendorong hilirisasi industri nikel dengan berfokus pada penguatan rantai produksi yang berkelanjutan dan terintegrasi untuk mendukung Indonesia sebagai salah satu produsen tambang nikel di dunia. Sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia, Indonesia didorong untuk mampu memanfaatkan momentum tingginya nilai ekonomi nikel yang dianggap sebagai ’emas baru’.

Perang antara Rusia dengan Ukraina berdampak pada kenaikan harga nikel global. Adanya perang yang berkecamuk di negara Eropa Timur memicu kekhawatiran di pasar bahwa pasokan nikel global akan semakin tipis karena gangguan produksi di Rusia.

Indonesia sebagai negara produsen nikel terbesar di dunia dengan produksi diestimasikan menembus 1 juta ton pada 2021 seperti mendapat ‘berkah’ dari gejolak geopolitik yang terjadi. Dalam jangka menengah dan jangka panjang, pemerintah memiliki komitmen untuk menjadi pemain nikel terutama yang menyuplai bahan baku untuk baterai mobil listrik. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, produksi olahan nikel Indonesia mencapai 2,47 juta ton pada 2021.

Angka ini naik 2,17 persen dibandingkan 2020 yang sebesar 2,41 juta ton. Tren produksi olahan nikel di Indonesia mengalami pertumbuhan setiap tahunnya. Pada awalnya produksi olahan nikel hanya sebesar 927,9 ribu ton pada 2018. Angka ini terus naik, salah satunya ditopang oleh produksi feronikel. Kementerian ESDM pun berencana meningkatkan kembali produksi olahan nikel mencapai 2,58 juta ton pada 2022.

Tahun ini, Kementerian ESDM mematok produksi olahan nikel dapat mengalami peningkatan. Feronikel ditargetkan meningkat menjadi 1,66 juta ton, nickel pig iron 831.000 ton, dan nickel matte 82.900 ton.

Ekspektasinya 5 tahun ke depan produksi nikel ini bisa terus meningkat seiring dengan melimpahnya cadangan nikel Indonesia. Adapun, umur cadangan bijih nikel Indonesia disebutkan bisa mencapai 73 tahun, untuk jenis bijih nikel kadar rendah di bawah 1,5 persen (limonite nickel). Asumsi umur cadangan tersebut berasal dari jumlah cadangan bijih nikel limonit mencapai 1,7 miliar ton dan kebutuhan kapasitas pengolahan (smelter) di dalam negeri sebesar 24 juta ton per tahun.

Sementara itu, untuk bijih nikel kadar tinggi di atas 1,5 persen (saprolite nickel), umur cadangan disebutkan hanya cukup untuk sekitar 27 tahun ke depan. Hitungan ini dengan asumsi jumlah bijih saprolit sebesar 2,6 miliar ton dan kapasitas kebutuhan bijih untuk smelter dalam negeri mencapai 95,5 juta ton per tahun.

Direktur Jenderal Mineral dan Batu bara Kementerian ESDM, Ridwan Djamaluddin mengatakan saat ini sebagian besar konsumsi bijih laterit didominasi oleh bijih tipe saprolite kadar nikel tinggi untuk smelter RKEF yang memproduksi nikel kelas 2. Jumlah cadangan bijih tipe saprolite dengan kandungan nikel (Ni) lebih dari 1,7 persen dan Ni lebih dari 1,5 persen sebesar 1,76 miliar ton dan 2,75 miliar ton bijih basah.

Dia menuturkan, jika diasumsikan tidak ada penambahan cadangan dan konsumsi bijih mencapai tingkatan di mana semua smelter yang direncanakan telah terbangun dan seluruhnya beroperasi (210 juta ton bijih basah per tahun dengan asumsi tidak terdapat penambahan smelter lebih lanjut), maka cadangan bijih dengan kandungan Ni lebih dari 1,7 persen akan habis pada tahun 2031.

“Sementara jika digunakan bijih dengan kandungan Ni lebih dari 1,5 persen, maka cadangan bijih saprolite akan habis pada tahun 2036”, kata Ridwan, Rabu (11/05/2022).

Kinerja ekspor dan impor di bulan Maret 2022 berhasil menembus rekor tertinggi sepanjang sejarah. Solidnya performa surplus Indonesia pada Maret 2022 ditopang oleh kinerja ekspor yang terus menguat di tengah peningkatan harga berbagai komoditas andalan yang cukup signifikan.

Tercatat pada Maret 2022, harga batu bara meningkat 49,91 persen (mtm), nikel tumbuh 41,26 persen (mtm), dan CPO naik 16,72 persen (mtm).

“Konsumsi bijih laterit tipe limonite kadar nikel rendah di Indonesia untuk pabrik HPAL yang memproduksi nikel kelas 1 masih relatif rendah,” ujarnya.

 

(ZBP)

Tags

Tulisan terkait

Bimata
Close