BIMATA.ID, Jakarta – Ahli Hukum Tata Negara, Denny Indrayana menilai, ada empat ambiguitas saat Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia (RI) memutuskan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) inkonstitusional bersyarat.
Pertama, MK RI menyatakan, aturan yang dikenal dengan Omnibus Law ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia (NRI) 1945. Namun, MK RI masih memberi ruang bagi UU Ciptaker berlaku selama dua tahun, karena sudah banyak diterbitkan aturan pelaksanaan dan telah pula diimplementasikan.
“Seharusnya, agar tidak ambigu, MK tegas saja membatalkan UU Ciptaker, dan kalaupun ingin memberi ruang perbaikan, itu tidak dapat dijadikan alasan untuk suatu UU yang dinyatakan melanggar konstitusi untuk tetap berlaku,” ujar Denny, dalam keterangan persnya, Jumat (26/11/2021).
Sementara itu, lanjut Denny, ambiguitas kedua berkaitan dengan 12 putusan MK RI tentang uji materi UU Ciptaker. Dari 12 putusan yang dibacakan, MK RI menyatakan, sepuluh di antaranya kehilangan objek karena Putusan MK RI Nomor 91 tersebut sudah menyatakan UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat.
“Pertanyaan kritisnya, objek mana yang hilang? Bukankah meskipun menyatakan bertentangan dengan konstitusi, MK masih memberlakukan UU Ciptaker maksimal selama dua tahun,” tambahnya.
Ambiguitas berikutnya, MK RI terkesan berkompromi ketika memutuskan uji materi tentang UU Ciptaker.
“Putusan MK menimbulkan multitafsir, apakah masih bisa dilaksanakan atau tidak,” imbuh Denny.
Menurut Denny, ada dua kubu yang berbeda pendapat menyikapi putusan MK RI terhadap aturan yang dikenal dengan Omnibus Law ini. Satu pihak berpandangan UU Ciptaker masih bisa dilaksanakan dalam dua tahun. Pihak lain berpendapat UU Ciptaker tidak boleh lagi diimplementasikan sama sekali.
Ambiguitas terakhir, putusan MK RI Nomor 91 menghadirkan ketidakadilan. Misalnya, saat MK RI mengkritisi minimnya ruang partisipasi publik dalam lahirnya UU Ciptaker.
Di sisi lain, MK RI tidak menerapkan standar yang sama ketika menguji formal perubahan UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI dan perubahan UU Minerba, yang juga super kilat dan menihilkan partisipasi publik.
“Jika mengacu pada Putusan MK 91, seharusnya kedua perubahan UU KPK dan Minerba itu pun dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” tuturnya.
[MBN]