Opini

Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2021 : Persiapan Merespon Agresi?

Penulis : Munadi Marpa, Yayasan Bina Insan Bangsa 

BIMATA.ID, OPINI — Januari 2021, Ada beberapa peristiwa yang menarik di bulan awal tahun ini. Tak Hanya soal Surat keputusan kementerian Keuangan tentang Re focussing dan Re alokasi Belanja Pemerintah pusat dalam APBN 2021 yang ditandatangani Sri Mulyani Indrawati selaku menteri Keuangan. (yang ini udah kita bahas sebelumnya, kalau pengen baca, Klik :

 Pada bulan ini juga, Presiden Republik Indonesia juga telah menandatangani Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2021. Peraturan Pemerintah ini, mengatur tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN) untuk Pertahanan Negara. Wah, ngomong-ngomong soal Pertahanan Negara, kita seperti harus bicara serius nih, hehehe.  

Yap, dalam tulisan sebelumnya, memang sengaja sih saya tidak mengurai secara langsung perihal ini. Walaupun boleh jadi…, boleh jadi nih ya, ada kaitannya nih satu sama lain bahasan kita yang di topik ini dengan topik sebelumnya. gimana….? lanjut yaa…

Mungkin ada baiknya, kita coba melihat akar kelahiran dari UU PSDN ini. sebagai negara dengan kekayaan alam yang melimpah, Indonesia tentu menjadi salah satu negara potensial yang diincar oleh negara-negara lain. Beragam model kerjasama telah terbangun.

Kerjasama antar negara itu adalah sebagai upaya pemenuhan kebutuhan masing-masing negara. Kekayaan alam yang melimpah bahkan tak jarang membuat Indonesia diintervensi oleh negara lain. Freeport, Vale, Newmont, Chevron dan beragam perusahaan raksasa lain tercatat mengelola Sumber Daya Alam di negara kita. Pengelolaan SDA tersebut tentu memberi dampak ekonomi baik pada negara asal perusahaan pengelola maupun pada negara kita. Untuk angka konsesinya jangan kita yang itung ya, soalnya nilainya banyak banget, hehehehe.

Ada satu hal yang perlu kita ketahui menyangkut ilmu investasi dan bisnis (walau saya bukan tokoh bisnis super hebat nih, tapi gak papa kali yaa bagi ilmu dikit, hehehe). Potensi pengelolaan bisnis itu akan selalu beriringan dengan kekuasaaan, begitupula dengan kemitraan ekonomi dalam kerjasama bilateral dan internasional.

Ketika pemerintah yang berkuasa dalam suatu negara dekat dengan kelompok barat, maka yang akan berperan dalam investasi adalah kelompok barat, begitu pula sebaliknya. Dimana kekuasaan menghadap, maka disitulah potensi ekonomi akan berkiblat. (kira-kira demikian),

Sejak dahulu Indonesia memang menganut politik bebas aktif, dengan kata lain non-blok. Walau demikian, saat itu, dominasi investasi bersumber dari blok barat. Pasca reformasi,pluralitas memang tak hanya soal kultur tapi juga ekonomi. Pemerintah kita benar-benar membuka keran kerjasama dari hampir segala penjuru.

Hingga di kemudian hari, Pemerintah tiba-tiba berubah haluan. Dominasi barat sekian periode tiba-tiba tergantikan dengan haluan kemudi pemerintah berjalan yang sepertinya lebih respect pada blok timur, yakni Asia daratan.

Nah, Perubahan arah respect pemerintah ini tentu menghasilkan produk kebijakan yang “rada” berubah haluan juga. Demikian pula, ke pengelolaan potensi-potensi sumber daya alam bernilai ekonomi tadi. Bahasa nasionalisasi kemudian mengemuka akibat ketidakadilan akan konsesi keuntungan menurut Kabinet Pemerintah.

Nasionalisasi adalah bahasa mudah namun menjadi rumit manakala harus melihat klausul kontrak dengan segala butir kesepakatannya. Yang saya maksudkan, tentunya ‘nilai’ kompensasi yang besar dalam upaya alih saham atau sebut saja nasionalisasi aset-aset tersebut.

Tak hanya menasionalisasi, kecondongan Pemerintah pada Kelompok China juga ditunjukkan dengan berbagai kerjasama pembangunan terbaru dan kerjasama sumber daya alam lainnya yang cenderung baru dibuka peluang pengelolaannya. Pemerintahan Presiden Xi Jinping pun seperti benar-benar memanfaatkan kemitraan ini. Maklum, negara berpenduduk 1,4 miliar jiwa lebih ini memang bertumbuh menjadi negara dengan kekuatan ekonomi besar di dunia.  

– Kepemimpinan Barat Berganti, Pola Berubah

Pemilu Presiden Amerika tahun 2016 menghantarkan Donald Trump menjadi Presiden. Figur usungan Partai Republik itu kemudian banyak melakukan intervensi pada aspek ekonomi. Suatu pola yang berbeda dengan pendahulunya dari partai Republik penyuka nasi Goreng, Barack Obama yang lebih ‘kerap’ melakukan pendekatan dengan agresi militer. Intervensi Amerika yang merupakan pemimpin blok barat  terhadap pasar dunia kemudian berimbas hingga ke kelompok timur dan para mitra kerjasama dominan kelompok timur.

Akibat dari kebijakan pasar Amerika yang direspon oleh China kemudian melahirkan perang dagang. Sob, perang ini jangan diartikan tembak-tembakan di pasar yak, hehehe…, Perang dagang antar 2 negara besar itu, sudah pasti memberi efek bagi negara-negara lainnya. Indonesia sendiri harus mengalami perlambatan perekonomian. 

Kala itu, sekitar setahun lebih pasca pembentukan kabinet di Indonesia yang Pemilunya berlangsung di tahun 2014. Koalisi partai politik dalam pemerintahan yang saat itu terbentuk bukanlah koalisi ‘gemuk” atau dominan dalam parlemen. Akibatnya sudah tentu, Pemerintah terpilih menjadi ‘agak kesulitan’ dalam menjalankan rencana-rencana pembangunannya.

Progress pembangunan yang mengalami perlambatan akibat tidak ‘bersinerginya” eksekutif dan legislatif membuat pemerintah mengambil opsi dengan pendanaan pembangunan yang bersumber dari pinjaman luar negeri dan skema kerjasama yang kebetulan saat itu banyak dimotori oleh kelompok dari negeri Tirai Bambu.

Back to perang ekonomi yaa. Kondisi politik yang sulit di periode pemerintahan Kabinet Kerja ditambah dengan perang dagang membuat ekonomi kala itu terpuruk. Bahkan gesekan politik kala itu, sangat terasa hingga di periode kabinet kerja berakhir dan berganti dengan kabinet Indonesia Maju.

Kabinet pimpinan Presiden Joko widodo di periode keduanya ini memang telah menguasai parlemen. Bahkan oposisi penantangnya pun masuk menjadi koalisi dalam pemerintahan terpilih. Harapan terbebas dari tekanan politik tentu terbersit. Sayangnya, covid-19 tiba-tiba menyapa dunia. pandemi corona ini menyapa Indonesia di awal tahun 2020, saat susunan kabinet masih ‘fresh’.

Pandemi makhluk mikroskopis ini meluluhlantakkan ekonomi Indonesia bahkan dunia. Setahun terakhir pemerintah harus kalang-kabut menangani dampaknya. Dari kian bertambahnya pasien terjangkit hingga kesulitan ekonomi rakyat akibat efek  upaya pengendalian penyebaran virus melalui Pembatasan Sosial Berskala Besar.

Nah, dari tadi ngomongin alur melulu kita nih. Sekarang saatnya nyambungin dengan topik ya… 

– Joe Biden Terpilih di Pilpres Amerika

3 November 2020, Pemilihan Presiden USA berlangsung dan kepemimpinan Donald Trump berakhir. Joe Biden bersama Pasangannya Kamala Harris yang diusung oleh partai Demokrat terpilih menjadi Pemimpin Amerika Serikat. Meski baru dilantik, namun, Biden telah menunjukkan rencana pemerintahannya yang akan ‘berbeda jalur dengan pendahulunya.

Berkaca pada pola komunikasi antar negara yang dilakukan oleh partai Demokrat dalam kabinet sebelumnya di masa Presiden Obama, maka sudah tentu Pemerintah Indonesia yang saat ini memiliki ‘kedekatan spesial’ dengan pihak China haruslah merespon kondisi tersebut. 

Salah satu bentuk responnya adalah dengan ditandatanganinya Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2021. PP yang mengatur Pelaksanaan UU Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN) untuk Pertahanan Negara ini memang dalam salah satu pointnya mengatur tentang warga sipil (biasa) yang bisa dijadikan sebagai komponen cadangan pertahanan negara. Boleh jadi penerbitan PP ini adalah bentuk antisipasi pemerintah terhadap kemungkinan agresi yang akan dilakukan kelompok. barat terhadap dominasi yang dilakukan poros timur di negara ini.

Waduuuuh, bahasan kita kali ini, lumayan berat yaah. Dari ngomongin politik dalam negeri, politik luar negeri, terus ekonomi, investasi, weleh-weleh… Lama-lama bisa jadi pening uueeyy… Hehehe,  Udah gitu topik ini rada ngeri lagi. Gimana gak tuh…, kalau coba dihitung, alokasi anggaran militer kita ama Amerika tuh perbandingannya, kita hanya sekitar hampir 2% aja dari nilai total anggaran militer USA yang sebesar US$ 750 miliar. Gimana kalau sampai beneran ada agresi militer tuh…???, ya mbok jangan dululah, bangsa kita lagi banyak bencana soalnya. Mana APBN tahun ini lagi dialihkan buat nambal APBN yang tahun kemarin tekor. Lalu harus bagaimana dong? Tunggu di edisi selanjutnya… Hehehe

(****)

Tags

Tulisan terkait

Bimata
Close