BeritaRegional

Hidup Miskin, Pasutri Renta di Gunungkidul Rawat Cucu Sakit Polio

BIMATA.ID, Jakarta- Kisah mengharukan dialami oleh Sutini (75), perempuan yang tinggal di Pedukuhan Singkil RT 05 RW 12, Kalurahan Tepus, Kapanewon Tepus, Kabupaten Gunungkidul. Bersama suaminya, Yatmo Semito Sudal (78), ia banting tulang merawat dan memenuhi kebutuhan Meliasari (12), cucu mereka yang mengalami gizi buruk dan sakit polio.

Selain tak bisa beraktivitas sama sekali, Melia ditinggal pergi oleh kedua orang tuanya sejak umur 7 bulan. Putri pasangan Sutarno dan Yenni Kusniawati ini hanya mendapat kasih sayang dari sang kakek dan nenek. Selama 12 tahun ini pula, tak ada kabar ke mana kedua orang tua Melia tersebut.

Kemiskinan yang mendera Mbah Sutini dan Yatmo membuat mereka pasrah dan hanya menunggu uluran tangan orang lain untuk memenuhi kebutuhan cucunya tersebut. Upah buruh tani dan hasil panen dari ladang keluarga ini tak cukup untuk memenuhi kebutuhan cucunya yang kian membengkak tersebut.

Sutini mengatakan, 12 tahun lalu anaknya, Sutarno, bersama istrinya, Yenni Kusniawati, datang membawa Melia. Melia sendiri lahir di Bantul, tempat tinggal ibunya, Yenni, yang konon berada di Kecamatan Srandakan. Saat anak dan menantunya tersebut datang ke rumahnya, perasaan gembira sempat menghinggapi Sutini.

“Lha sejak nikah belum pernah pulang. Kedua orang tua Melia hanya tinggal di rumah tersebut selama sepekan,” kenangnya, Kamis (7/8/2020), saat ditemui di rumahnya.

Sekitar seminggu tinggal di rumah tersebut, Sutarno berpamitan kepada dirinya untuk akan bekerja. Keduanya menitipkan Melia kepada Sutini untuk dirawat. Sutarno berjanji sesekali akan pulang dan mengiriminya uang untuk memenuhi kebutuhan Melia.

Namun, Sutarno dan Yenni tak pernah memenuhi janji mereka. Bahkan selama 12 tahun merawat Melia, Sutini sama sekali tak pernah mendengar kabar kedua orang tua cucunya itu. Bahkan uang kiriman yang akan dijanjikan sebelum pergi meninggalkan Melia kepada dirinya juga tak pernah dikirim.

Untuk memenuhi kebutuhan cucunya tersebut, keluarga ini harus banting tulang. Sutini sendiri mengaku tak pernah mencari keberadaan anak dan menantunya tersebut di rumah mereka di Bantul. Kendala jarak dan ongkos yang tidak sedikit untuk pergi ke Bantul mengharuskan ia pasrah menerima keadaan.

Terlebih lagi, ia sama sekali tidak pernah mengetahui secara persis di mana tempat tinggal besannya, orang tua dari Yenni. Kemiskinan yang membalut mereka membuat pasangan suami istri ini hanya pasrah dan tidak akan mencari kedua orang tua Melia.

“Kalau ke sana ongkosnya mahal. Sudah mahal belum tentu ketemu. Keluarga di sini ndak ada yang punya motor, jadi susah mau ke mana-mana. Sudah pasrah saja,” paparnya.

Selama 12 tahun ini, ia bersama suaminya banting tulang untuk memenuhi kebutuhan Melia. Untuk kebutuhan susu, ia memang menyediakan seadanya, baru ketika ada bantuan, kebutuhan gizi cucunya ia penuhi.

Sementara untuk makan sendiri, Melia hanya disuapi bubur nasi tanpa lauk apa pun. Oleh karenanya, selain sakit polio, Melia memang divonis gizi buruk oleh dokter yang memeriksanya.

Keluarga ini pun harus berjuang keras sebab Melia harus ganti popok setiap kali buang air besar dan kecil. Di tengah harganya yang mahal, popok memang menjadi kebutuhan besar dari keluarga ini. Karenanya, keluarga ini membutuhkan uluran tangan orang lain agar bisa membelikan popok cucunya tersebut.

Sutini terkadang harus pergi bekerja menjadi buruh tani dengan upah Rp30 ribu dalam sehari. Ketika wanita tua ini bekerja di ladang, Melia dirawat oleh menantu lainnya yang kini memiliki 3 orang anak. Sementara, kakak dari Sutarno juga bekerja buruh tani dan juga serabutan.

Di sisi lain, suaminya, Mbah Yatmo, harus selalu berjalan kaki sejauh 7 kilometer untuk pergi ke ladang yang berada di dekat pantai. Mbah Yatmo sudah meninggalkan rumah pukul 05.30 WIB dan baru pulang ke rumah pukul 17.30 WIB. Satu-satunya hiburan Mbah Yatmo adalah pergi ke ladang untuk bercocok tanam.

“Lahannya sih tak begitu luas. Kalau panen padi ya hanya menghasilkan 1 karung saja,” terangnya.

Di rumah ukuran 12×8 meter yang terbuat dari kayu dan berdinding anyaman bambu ini, kini dihuni 8 orang, termasuk Melia. Sutini dan juga Yatmo harus berjuang keras memenuhi kebutuhan hidup mereka karena anak dan menantunya juga tergolong keluarga miskin.

FID

Tags

Tulisan terkait

Bimata
Close