BIMATA.ID, Jakarta- Utang Pemerintah Indonesia mencapai lebih dari Rp 6.000 triliun, Ekonom sekaligus Direktur Celios (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira menyarankan agar pemerintah renegosiasi atau restrukturisasi utang dengan para kreditur.
“Banyak negara yang melakukan renegosiasi atau restrukturisasi utang terhadap para kreditur, sehingga ruang itu sebenarnya terbuka. Bank Dunia dan IMF juga menyerukan untuk mengurangi beban utang khususnya negara-negara yang kesulitan menghadapi pandemi,” kata, Jumat (25/06/2021).
Menurutnya, Indonesia bukan termasuk negara maju melainkan Indonesia merupakan negara berpendapatan menengah ke bawah. Sehingga Indonesia layak melakukan renegosiasi utang dengan para kreditur.
“Itu yang harusnya dilakukan. Jadi beban utangnya bukannya terus meningkat,” imbuhnya.
Seharusnya sekarang Pemerintah Indonesia meminta penangguhan utang ke para kreditur sampai 2022, kalau perlu sampai 2023 agar pembayaran bunga utangnya di moratorium atau ditunda dahulu.
“Sehingga ada beban yang berkurang dan ruang fiskal bisa digunakan untuk belanja lainnya, termasuk juga untuk menurunkan tingkat korupsi atau kebocoran anggaran dan reformasi birokrasi agar lebih efisien, itu bagian-bagian pentingnya secara paralel untuk mengurangi beban utang,” ujarnya.
Selanjutnya, Bhima menyebut kondisi utang Pemerintah Indonesia sudah masuk level membahayakan dan mengkhawatirkan. Hal itu dilihat dari debt to service ratio (DSR) atau kemampuan membayar utang Pemerintah dibanding penerimaan negara sudah diatas 50 persen pada tahun 2020.
“Maka mengakibatkan Pemerintah harus membayar bunga utang yang lebih mahal untuk mendapatkan bunga pinjaman yang baru,” imbuhnya.
Ternyata utang tersebut belanja paling besarnya bukan untuk belanja kesehatan, melainkan untuk belanja yang sifatnya birokratis seperti belanja pegawai dan belanja barang. Tentunya itu menjadi pemborosan.
“Ditambah program-program Work From Bali yang dilakukan oleh Kemenko Marves untuk mendorong pariwisata tapi programnya justru malah blunder. Selain menambah penularan covid-19 yang berikutnya lagi utang digunakan untuk perjalanan dinas untuk waktu yang tidak tepat, padahal bisa Work From Home,” pungkasnya.
(Bagus)