Opini

SUFMI DASCO DALAM SASARAN COGNITIVE WARFARE

Penulis: Azis Subekti

Saat ini kita memang sedang mengalami apa yang disebut dengan Cognitive Warfare, artikel-artikel tentang hal tersebut bisa ditemukan di jurnal internasional yang membahas tentang bagaimana perang kognitif sedang terjadi untuk mengeksploitasi jalan pintas mental manusia. Kasus terakhir adalah artikel di majalah Tempo yang bikin kita semua HARUS waspada. Sebelumnya kita juga menghadapi tentang demo Indonesia gelap yang tidak masuk akal. Ada tiga elemen penting dalam cognitive warfare yang sering di eksploitasi pihak yang sedang melancarkan serangan, yaitu personal treat, cognitive bias dan logical fallacy. Artikel tempo tersebut mengandung banyak logical fallacy yang sedang dimainkan untuk “perang” mengeksploitasi cognitive pembaca.
Setelah menelaah artikel Tempo edisi 6 April, terlihat jelas bahwa pemberitaan tersebut bisa mengandung beberapa bentuk logical fallacy (kesesatan berpikir).
Berikut ini analisisnya:
1. Guilt by Association (kesalahan asosiasi)
Tempo menyebut Sufmi Dasco Ahmad memiliki “pengalaman bisnis” dengan entitas Golden Oasis di Kamboja, yang kemudian dikaitkan dengan bisnis judi. Namun:
– Tidak ada bukti langsung Dasco terlibat dalam operasional bisnis judi.
– Informasi berasal dari laporan korporasi dan satu narasumber anonim dari “pejabat Kabinet Merah Putih”.
Fallacy: Menyimpulkan seseorang bersalah karena berasosiasi dengan entitas yang diduga terlibat praktik ilegal.
2. Hasty Generalization (generalisasi terburu-buru)
Tempo mengangkat fakta bahwa banyak WNI bekerja di industri judi online di Kamboja, lalu menyoroti sejumlah nama orang Indonesia (termasuk Dasco) yang memiliki keterkaitan dengan perusahaan di sana.
Fallacy: Fakta bahwa “banyak”orang Indonesia bekerja di bisnis judi tidak serta merta membuktikan semua pengusaha atau politikus Indonesia yang memiliki bisnis di Kamboja otomatis terlibat judi.
3. Circumstantial Evidence (bukti keadaan)
Tempo menyebut “Tempo tidak mendapat konfirmasi dari Dasco sampai tanggal 4 April”, dan ini dipakai untuk tetap memuat tuduhan.
Problem: Ketidakhadiran konfirmasi tidak berarti pembenaran tuduhan. Dalam hukum maupun jurnalistik yang berimbang, beban pembuktian tetap di tangan yang menuduh.
4. Loaded Language dan Framing Bias
– Judul seperti “Pengusaha dan Politikus Pengendali Judi Online di Kamboja” dan ilustrasi Tempo yang menggambarkan figur laki-laki tambun merokok cerutu, sangat bersifat suggestive dan membentuk opini pembaca sejak awal.
Fallacy Penggunaan bahasa emosional dan visual framing dapat memengaruhi persepsi tanpa menyodorkan bukti yang kuat.
Kesimpulan:
Tempo memang mengangkat banyak data dan dokumen, namun penyebutan nama Dasco masih berbasis dugaan, asosiasi, dan testimoni tidak diverifikasi secara terbuka. Jika tidak ada bukti langsung atau dokumentasi legal yang mengaitkan Dasco dengan operasional judi, maka tuduhan ini rentan mengandung fallacy dan bisa disebut sebagai pemberitaan yang prematur atau bahkan trial by media.

Related Articles

Bimata