Bimata

Politisasi Identitas dalam Pemilu 2024, Lolly Suhenty : Perhatian Serius dari Bawaslu

BIMATA.ID, Jawa Barat – Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) terus berkomitmen untuk mencegah politisasi identitas yang dapat memecah belah masyarakat Indonesia dalam rangka memastikan bahwa Pemilu 2024 akan berlangsung secara inklusif, tanpa meninggalkan satu kelompok pun.

Anggota Bawaslu, Lolly Suhenty, menekankan pentingnya inklusivitas dalam pemilu sebagai perhatian bersama dalam upaya menekan maraknya politisasi identitas yang dapat berujung pada konflik di dalam hajatan demokrasi.

Pernyataan ini disampaikan Lolly Suhenty dalam Diskusi Penyusunan Rancangan Teknokratik RPJMN 2025-2029 dengan tema “Penguatan Inklusivitas dan Pencegahan Pemanfaatan Politik Identitas,” yang diselenggarakan oleh Bappenas di Jawa Barat pada Selasa, 17 Oktober 2023.

Baca Juga : Gus Ipang Wahid Beri Pesan Menyentuh untuk HUT Prabowo: Si Paling Gampang Tersentuh

Politik identitas itu tidak bermasalah, akan tetapi politisasi identitas yang berpotensi menghasut, menghina, mengadu-domba, dan menghasilkan kekerasan, itulah yang menjadi perhatian Bawaslu,” kata Lolly Suhenty.

Menurut Lolly, Bawaslu bersama dengan Bappenas telah menjalankan berbagai program pencegahan secara massif di seluruh wilayah. Salah satu langkah yang diambil adalah mengundang para tokoh agama, aktivis pemilu, dan penggiat pemilu untuk merumuskan definisi politisasi identitas.

Hal ini penting karena seringkali terdapat perbedaan dalam definisi politisasi identitas, serta keterbatasan dalam norma yang mengaturnya. Dalam hasil kajian, politik identitas didefinisikan sebagai politik yang mengacu pada identitas, kepribadian, keyakinan, dan budaya tertentu.

“Politik identitas menjadi masalah saat identitas tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu yang berpotensi menghina, menghasut, dan memecah belah masyarakat.” jelasnya.

Menurutnya, hal tersebut sudah sesuai dengan hukum yang diatur dalam Pasal 280 UU No. 7 Tahun 2017.

Selain itu, Bawaslu juga telah merilis Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) 2024 dengan fokus pada isu strategis politisasi SARA. Lolly mengungkapkan bahwa berdasarkan hasil survei Bawaslu berdasarkan kejadian nyata pada Pemilu 2019 dan Pilkada 2020, kekerasan berbasis SARA merupakan masalah yang paling dominan. Selain itu, kampanye yang mengandung unsur SARA di tempat umum dan media sosial juga menjadi perhatian.

“Isu SARA yang paling dominan ternyata berkenaan dengan etnis dan agama. Oleh karena itu, diperlukan strategi yang tepat untuk melakukan edukasi dan transformasi. Enam provinsi yang paling rawan terhadap politisasi SARA menurut IKP Bawaslu adalah DKI Jakarta, Maluku, Papua Barat, Yogyakarta, Jawa Barat, dan Kalimantan Barat,” tambahnya.

Lolly menekankan bahwa Bawaslu telah menjalankan berbagai program pencegahan, termasuk kampanye pengawasan partisipatif yang melibatkan lebih dari 24 ribu kader Sekolah Pengawas Partisipatif (SKPP) dan Pendidikan Pengawasan Partisipatif (P2P), serta pemberdayaan kampung pengawasan partisipatif dengan melibatkan media massa.

Simak Juga : Politisi PDIP Sentil Relawan yang Dorong Gibran Jadi Cawapres Prabowo

Selain itu, Bawaslu akan mendorong puluhan ribu kader pengawas partisipatif untuk menjadi konten kreator yang berkampanye melawan politisasi identitas. Harapannya, kampanye ini dapat melawan disinformasi dan berita palsu yang sering menjadi pemicu politisasi identitas.

Lolly juga menyebut bahwa mereka sedang membangun partisipasi masyarakat melalui pemantau pemilu dan kampung pengawasan partisipatif, seperti desa yang memiliki inisiatif “anti-politik uang” di Bantul. Kolaborasi dengan jurnalis juga menjadi bagian dari strategi Bawaslu untuk memastikan politisasi identitas dapat ditekan pada Pemilu 2024.

Exit mobile version