Bimata

Ahmad Sahroni Minta Mahfud MD Sebutkan Nama Oknum Pelaku Transaksi di Bawah Meja

BIMATA.ID, Jakarta – Politisi Fraksi Partai Nasional Demokrat (NasDem) Ahmad Sahroni, meminta Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD untuk segera membuka oknum pelaku transaksi di bawah meja, baik yang berada di DPR, Mahkamah Agung (MA), dan pemerintah. Karena, kalau tidak ditunjuk langsung, akan menjadi fitnah kepada 580 anggota DPR lainnya.

Oleh karena itu, Sahroni menekankan, bahwa tidak semua anggota DPR berkelakuan buruk. Hal ini disampaikan Ahmad Sahroni melalui keterangannya pada awak media, Selasa (13/06/2023).

“Langsung aja to the point (tunjuk nama), itu lebih baik agar tidak jadi fitnah ke 580 anggota DPR lainnya. Ada juga yang super-baik, demikian juga semua lembaga tidak semua jelek pasti ada yang super hebat,” kata Ahmad Sahroni.

Baca Juga : Sapa Ribuan Relawan di Trowulan, Prabowo Disambut Gemuruh

Selain itu, Wakil Ketua Komisi III DPR ini pun tidak menyangkal hal tersebut. Namun, ia meminta Mahfud tidak melakukan generalisasi.

“Kita semua tidak bisa langsung menyangkal ini, saya rasa di semua lembaga tinggi pasti ada saja oknum yang melakukan ini, mau MA, DPR, dan tentu saja di pemerintahan. Saya ingin memberi saran saja, siapapun kita tolong jangan generalisasi,” tuturnya.

Lain dari pada itu, Menko Polhukam Mahfud MD menerangkan, bahwa korupsi di Indonesia semakin menjadi-jadi. Mahfud pun menyinggung adanya transaksi di balik meja di DPR, Mahkamah Agung, bahkan pemerintahan. Hal itu disampaikan Mahfud dalam HUT Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) beberapa waktu lalu. Mahfud mulanya menyebut bahwa indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia anjlok pada 2022.

Simak Juga : Didampingi Gus Miftah, Gus Kautsar Kunjungi Prabowo ke Kemhan

“Di tahun 2022 indeks persepsi korupsi kita terjun dari 38 ke 34. Itu membuat kita kaget. Korupsinya makin menjadi-jadi berarti,” ujar Mahfud MD.

Mahfud mengungkapkan, konflik kepentingan ini terjadi di DPR, MA, hingga di birokrat. Konflik kepentingan itu, menurut dia, menyebabkan terjadinya transaksi di balik meja.

“Di DPR terjadi transaksi-transaksi di balik meja, Mahkamah Agung (MA), pengadilan bisa membeli perkara. Di pemerintah, di birokrasi sama,” jelasnya.

Exit mobile version