Bimata

Menakar Kekuatan Sebuah Kontrak Politik Jelang 2024

PENULIS : YUSMAR ABDILLAH

BIMATA.ID, OPINI — Salah satu hal yang kerap menjadi perbincangan hangat terkait politik adalah tentang janji-janji politik. 

Janji politik itu sendiri banyak macamnya ada yang berbentuk visi-misi, ada pula yang diucapkan langsung, bahkan ada janji politik yang dituangkan dalam sebuah kontrak politik hingga menjadi dasar sebuah komitmen politik di antara para pelaku politik itu sendiri.

meskipun sama-sama memakai kata “Janji” yang dalam pengertian umumnya akan menimbulkan sebuah hak dan kewajiban yang mengakibatkan sanksi, namun pengimplementasian tentang janji politik itu sendiri ternyata berbeda. 

BACA BERITA TERKAIT : Dasco Respon Perjanjian Politik antara Prabowo, Anies-Sandiaga

jika sebuah janji bisnis dianggap wanprestasi dan bisa digugat secara hukum, tapi janji politis itu hanya menimbulkan sanksi moral.

Membahas tentang moral ini akan berkaitan sedikit dengan budaya, kita ambil contoh bagaimana budaya orang Jepang yang menjunjung tinggi sebuah komitmen, tepat waktu, disiplin, dan loyalitas.

Akan tetapi untuk kita sendiri tentu saja berbeda, bahkan uniknya seorang yang sudah terbukti tidak pernah bisa menjunjung tinggi sebuah komitmen yang sudah disepakati, berani ingkar secara terbuka, masih dengan bangganya menampilkan dalih-dalih pembelaan yang seolah-olah benar dengan harapan akan dianggap kebenaran baru.

Prabowo Subianto Sapa Pengguna Twitter Dengan Foto Senyum, Dipuji Netizen

Melihat hal ini jadi teringat dengan seorang tokoh besar Nazi, Paul Joseph Goebbels, dikenal dunia seorang ahli propaganda yang ulung. 

Joseph Goebbels adalah tokoh Nazi, pendukung utama Adolf Hitler juga merupakan pendukung gerakan anti-Semit yang aktif. Dialah pakar propaganda yang mempopulerkan frasa “Argentum ad nausem” atau lebih dikenal sebagai teknik “Big Lie” (Kebohongan Besar). 

“Prinsip dari tekniknya itu adalah menyebarluaskan pernyataan dan berita bohong melalui media massa sebanyak mungkin dan sesering mungkin hingga kemudian kebohongan tersebut dianggap sebagai suatu kebenaran”

Berkaitan dengan tersebut, dalam praktek politik yang sering kita temui di masyarakat ternyata cara-cara yang dipakai tokoh Nazi ini masih sering terjadi dalam politik nasional, tokoh politik yang bahkan kini dianggap sebagai capres potensial meskipun jelas memiliki background seorang pengkhianat hanya karena alasan politik irasional dianggap tokoh pembaruan yang akan menjadi pembeda.

Apakah sudah sedemikian rapuhnya penilaian kita terhadap sosok tokoh politik yang akan menjadi pemimpin bangsa ini, jika sebuah komitmen yang sudah disepakati saja dengan mudahnya di ingkari, apakah akan menjamin jika visi-misi kerakyatannya akan ditunaikan ? mari kita merenung sebelum jatuh ke lubang yang akan menjerumuskan nasib bangsa ini kearah yang lebih buruk.

*****

Exit mobile version