Bimata

Soal Delik Penghinaan ke Pemerintah, MK: Pejabat Dulu Tuan, Kini Abdi

BIMATA.ID, Jakarta- Rancangan KUHP masih menjadi misteri lantaran drafnya belum dibuka luas ke publik. Dalam draf sebelumnya pada 2019, tercantum pasal penghinaan ke pejabat negara dengan ancaman penjara 4 tahun, dan hal itu menjadi polemik saat ini.

Kementerian Hukum dan HAM melalui Tubagus Erif Faturahman sebagai Kepala Bagian Humas sempat memberikan alasan mengenai belum dibukanya draf itu ke publik. Menurutnya, publikasi draf KUHP akan disampaikan ke khalayak selepas pembahasan dengan DPR.

“Draf terbaru bisa dipublikasikan setelah ada kesepakatan dengan DPR,” ucap Erif, Sabtu (18/06/2022).

“Untuk yang sedang dikaji atau dibahas oleh tim, belum bisa dipublikasikan dulu karena sifatnya dinamis dan terus berubah-ubah berdasarkan beragam masukan publik dan kajian yang terjadi,” ujar Erif.

Pembahasan RKUHP saat ini juga merupakan lanjutan dari 2019. Namun, untuk draf terbaru, sifatnya masih berubah-ubah, jadi belum bisa dibuka ke khalayak umum.

Ada pun pasal penghinaan ke pejabat negara seperti anggota DPR dengan ancaman penjara 4 tahun, yang mana sebenarnya pernah diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Agus Slamet dan Komar Raenudin. Mereka menggugat Pasal 319 UU KUHP tentang Pasal Penghinaan ke pejabat. Keduanya dijatuhi hukuman 5 bulan penjara karena kritikannya itu.

Saat itu pula keduanya dianggap menghina Wali Kota Tegal, Siti Masyitoh Soeparno di Facebook. Belakangan, Siti dihukum 5 tahun penjara karena korupsi.

MK menilai sudah bukan saatnya menganggap pejabat negara sebagai ‘tuan’ tapi kini adalah ‘abdi’. Menurut MK, pergeseran paradigma kenegaraan menuju relasi negara-masyarakat yang lebih demokratis atau setara.

Untuk mewujudkan kesetaraan hubungan antara negara dan warga negara (masyarakat), kata MK, harus dimulai salah satunya dengan mereposisi hubungan antara mereka yang menyelenggarakan kekuasaan negara dan warga negara di hadapan hukum.

“Pergeseran posisi pegawai negeri atau pejabat negara dari posisi ‘tuan’ pada era kolonialisme menjadi ‘abdi’ atau ‘pelayan’ masyarakat pada era kemerdekaan Indonesia, seharusnya turut menggeser pula keistimewaan posisi/kedudukan hukum masing-masing pihak. Semangat pergeseran demikian menurut Mahkamah ditegaskan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengamanatkan adanya perlakuan yang sama di hadapan hukum,” demikian pertimbangan MK, Minggu (19/06/2022).

 

(ZBP)

Exit mobile version