BIMATA.ID, Riau- Nelayan tradisional di pesisir Natuna, Kepulauan Riau berharap pemerintah mengutamakan pemberdayaan nelayan tradisional. Rencana pemerintah memberikan kontrak penangkapan ikan kepada korporasi dan investor asing dinilai tidak berpihak kepada rakyat kecil.
Sistem kontrak penangkapan ikan untuk industri dalam negeri dan penanaman modal asing adalah bagian dari kebijakan penangkapan terukur di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) RI. Dalam sistem kontrak itu, kuota penangkapan ikan yang ditawarkan kepada setiap badan usaha perikanan minimal 100.000 ton per tahun dengan masa kontrak berlaku 15 tahun dan dapat diperpanjang.
Pemerintah berencana memberlakukan penangkapan ikan terukur di enam zona pada 11 WPP, termasuk di WPP 711 (Laut Natuna dan Laut China Selatan). Sistem kontrak penangkapan ikan akan diuji coba di WPP 718 (Laut Aru, Laut Arafura, dan Laut Timor bagian timur).
Ketua Aliansi Nelayan Natuna Hendri mengatakan, saat ini sedikitnya sudah ada 850 kapal berukuran di atas 30 grosston (gt) yang beroperasi di Laut Natuna atas izin pusat. Kebijakan penangkapan terukur dikhawatirkan akan mendorong lebih banyak lagi kapal-kapal berukuran besar menangkap ikan di Laut Natuna.
”Sesuai namanya, kebijakan penangkapan terukur seharusnya mencegah penangkapan ikan yang berlebihan. Namun, yang akan terjadi justru sebaliknya, karena kebijakan itu ternyata adalah strategi pemerintah untuk melelang laut kepada pengusaha besar,” jelasnya, Selasa (29/03/2022)
Menurut informasi, kapal-kapal berukuran 30 gt ke atas sudah banyak beroperasi di perairan yang berjarak sekitar 55 kilometer ke atas dari pesisir timur Pulau Natuna Besar. Bila malam, langit perairan itu terang benderang. Kapal-kapal besar dari luar provinsi berkerumun mengeruk ikan dengan pukat.
”Kalau laut ini jadi dilelang sama pemerintah, (maka) hancur sudah hidup kami. Alat kapal-kapal besar jauh lebih canggih, kami akan mati kalau bersaing sama mereka,” ungkap Rustam (48), salah satu nelayan tradisional di Kecamatan Bunguran Timur, Natuna.
(ZBP)