Bimata

Urban Farming Dukung Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

BIMATA.ID, Jakarta- Urban farming menjadi tren dan kegiatan baru yang digemari banyak orang terutama di daerah perkotaan. Salah satunya dikarenakan pandemi Covid-19 serta kebijakan work from home (WFH) membuat orang-orang lebih banyak berada di rumah dan mencari aktivitas baru agar tidak merasa bosan.

Direktur Jenderal Hortikultura, Prihasto Setyanto melihat urban farming setahun belakangan ini sebagai fenomena yang luar biasa. Dirinya menyatakan bahwa sejak urban farming menjadi tren, penjualan benih hortikultura meningkat hingga lima kali lipat.

“Pandemi dan WFH membuat orang memiliki aktivitas baru di rumah, seperti urban farming dengan menanam hidroponik di rumah. Ini adalah fenomena luar biasa. Kami memantau penjualan benih sejak tren ini berlangsung dan ternyata benih horti meningkat hingga lima kali lipat,” ujar Anton, sapaan akrabnya, pada acara focus group discussion(FGD) bertajuk ‘Kisah Sukses Urban Farming‘ bersama Tabloid Sinar Tani, Rabu (10/02/2021).

Selain tanaman sayuran, tanaman hias juga berperan sangat signifikan pada tren urban farming. Peminatnya meningkat bahkan sampai memunculkan petani-petani tanaman hias dari generasi milenial yang sukses.

Anton juga memaparkan bahwa ekspor tanaman hias naik hingga tiga kali lipat. Pada 2019, ekspor tanaman hias berada di angka 105 juta pieces, sementara pada November 2020 meningkat di angka 333 juta pieces.

“Animo masyarakat sangat tinggi dan ini merupakan dukungan untuk pertanian Indonesia, terutama subsektor hortikultura,” tambahnya.

Sebagai salah satu bentuk apresiasi Kementan terhadap urban farming, pada tahun anggaran 2020, Ditjen Hortikultura telah meluncurkan kegiatan urban farming dengan menyebarkan penanaman cabai di wilayah DKI Jakarta seluas 4,7 hektare yang dimanfaatkan oleh 71 KT dan bawang merah seluas 2 hektare yang ditanam di wilayah Angkatan Udara Halim Perdana Kusuma.

Bantuan yang diberikan berupa benih cabai, benih bawang merah, pupuk organik dan pengendali OPT ramah lingkungan likat kuning.

Mengenai kebijakan urban farming, Anton menjelaskan bahwa Kementan, di bawah arahan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) memiliki program pengembangan Kampung Hortikultura. Program ini tidak hanya menyasar lahan hamparan yang sudah ada, tetapi juga petani dengan lahan sempit.

“Mengapa dinamakan ‘kampung’? Supaya terkonsentrasi dan terfokus. Kita fokuskan di desa-desa dengan salah satu sasaran petani lahan sempit. Jadi, 10 hektare bukan hanya hamparan saja,” jelas Anton.

Kampung Hortikultura mengusung konsep One Village One Variety (OVOV). Komoditas yang dikembangkan akan disesuaikan dengan agroekosistemnya. Kemudian, kampung tersebut akan dibantu benih unggul, pengendalian OPT, serta sarana dan prasarana dengan tetap memperhatikan sisi ramah lingkungan.

Melalui program Kampung Hortikultura, Anton berharap mampu meningkatkan kesejahteraan para petani dengan produktivitas hasil yang tinggi dan pengembangannya menjadi area agro edu wisata.

Urban farming merupakan usaha pertanian di perkotaan dengan memanfaatkan lahan-lahan terbuka yang ada di sekitar masyarakat. Luas lahan yang digunakan rata-rata seluas 5-50 m2. Komoditas yang umum diusahakan adalah tanaman yang berumur pendek seperti aneka sayuran daun dan buah, tanaman obat serta tanaman hias.

Turut hadir dalam FGD ini artis dan pegiat aquaponik Mark Sungkar, dosen IPB dan pakar urban farming Hadi Deddy Soesilo, penyuluh pertanian Dinas Pertanian Karawang Ajud Tajrudin, artis dan pegiat pangan organik Melly Manuhutu, staf ahli Mentan bidang Infrastruktur Pertanian (2015-2018) Ani Andayani, praktisi hidroponik Suci Puji Suryani dan Plt Kepala Dinas KPKP Provinsi DKI Jakarta Suharini Eliawati.

 

(Bagus)

Exit mobile version