Prof. Arlin Adam Mendorong Integrasi Peran Stakeholders Dalam Program Stunting di Sulsel
BIMATA.ID, SULAWESI SELATAN — Masalah stunting merupakan isu sentral pembangunan sumber daya manusia dengan memfokuskan intervensi pada 1000 hari pertama kehidupan (HPK) dimulai saat kehamilan hingga anak usia 2 tahun.
Di Sulawesi Selatan, angka stunting masih berkisar 40% dan ditargetkan pada tahun 2023 angkanya bisa mencapai 14%. Dalam rangka itu, maka Gubernur Sulsel Prof. Nurdin Abdullah mencanangkan inovasi program yang bernama Gammara’NA (Gerakan Masyarakat Mencegah Stunting) dalam bentuk pendampingan keluarga 1000 HPK oleh konselor gizi dengan lokus desa-desa yang memiliki angka stunting tertinggi.
Para konselor gizi pendamping desa tinggal di desa lokus selama 6 bulan untuk memberikan intervensi perubahan perilaku bagi keluarga 1000 HPK melalui berbagai kegiatan seperti kunjungan rumah, penyuluhan, diskusi warga, koordinasi layanan kesehatan dasar, dan berbagai kegiatan yang bertujuan peningkatan kesadaran keluarga dalam memelihara kehamilan dan kesehatan anak usia 2 tahun, sehingga diharapkan anak yang dilahirkan tidak mengalami stunting.
Setelah tiga bulan program Gammara’NA ini berlangsung, Dinas Kesehatan Provinsi Sulsel mengadakan pertemuan monitoring dan evaluasi pada tanggal 13-14 Oktober 2020 di Kabupaten Bone untuk menilai hasil-hasil sementara yang sudah diperoleh.
Pertemuan ini di buka oleh Bupati Bone yang diwakili plt. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bone dan dihadiri oleh Kepala Bidang Kesmas Dinkes Provinsi Sulsel H. Moh. Husni Thamrin bersama dengan tim ahli.
Prof. Arlin Adam yang juga merupakan Guru Besar Bidang Promosi Kesehatan Masyarakat pada kesempatan ini melihat bahwa tantangan-tantangan yang disampaikan oleh para konselor gizi di desa dipengaruhi oleh kurangnya keterlibatan para pemangku kepentingan dalam program pencegahan stunting, khususnya kelembagaan yang ada di tingkat desa.
“Menangani stunting dibutuhkan keterlibatan sektor non-kesehatan dengan porsi 70% karena penyebabnya bersifat multi-dimensi seperti akses pangan, sanitasi, PAUD, perkawinan usia dini, mitos/kepercayaan, dan lainnya, sementara sektor kesehatan hanya memiliki porsi 30%,”ungkapnya
Lebih lanjut Arlin Adam menyampaikan bahwa performance sementara program Gammara’NA di lapangan bersifat eksklusif karena hanya sektor kesehatan yang lebih dominan, padahal logika penanggulangan berdasarkan penyebab semestinya sektor non-kesehatan yang harus mengambil peran lebih banyak.
“Perlu dire-formulasi strategi pendampingan dengan melibatkan secara aktif para pemangku kepentingan tingkat desa melalui pembentukan forum stakeholders penanggulangan stunting,”paparnya
Hasil pertemuan monev pertengahan ini digunakan sebagai bahan dalam menyempurnakan model pendampingan konselor gizi agar replikasinya di kabupaten lain yang direncanakan pada tahun depan sebanyak 9 kab/kota menjadi lebih baik lagi.
Rilis/Usman