Opini

Drama Korea Melonjaknya Tagihan Listrik*

BIMATA.ID, Jakarta – Masyarakat mengeluhkan soal lonjakan tagihan (billing shock) tarif listrik hingga di atas 100 persen di bulan Maret, April, Mei, dan Juni. Keluhan ini bukan hanya dirasakan pelanggan pascabayar, tapi juga pengguna token. Namun, keluhan dari masyarakat ini direspons biasa saja oleh PLN.

Malah, bak Drama Korea, PLN kerap berganti jawaban kala ditanya kenapa tagihan harga setrum naik melonjak tajam dan cenderung tidak wajar di masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tersebut.

Saat pertama kali keluhan itu membanjiri ruang publik, PLN menjawab santai bahwa tidak ada kenaikan tarif dasar listrik. PLN beralasan, melonjaknya tagihan lebih dikarenakan kegiatan work from home (WFH) dan school from home (SFH) di tengah wabah koronavirus.

PLN juga berdalih, situasi stay at home saat pagebluk COVID-19 menyebabkan aktivitas hiburan, seperti menonton Drama Korea, banyak dilakukan masyarakat. Sehingga menyebabkan penggunaan setrum yang tinggi yang akhirnya mendongkrak jumlah tagihan listrik.

Namun, kala banyak masyarakat yang tidak melakukan WFH, SFH, maupun menonton DRAKOR ikut protes, PLN menambah jawabannya dengan menyebutkan lonjakan tagihan karena ada perubahan sistem penagihan yang menggunakan rata-rata pemakaian listrik tiga bulan sebelumnya.

PLN menggunakan sistem ini karena khawatir pencatat meter akan terpapar COVID-19 bila melakukan pencatatan langsung ke tiap rumah. Dengan sistem ini, tagihan di bulan Maret didasarkan pada pengunaan rata-rata setrum di bulan Desember, Januari, dan Februari.

Kenaikan tagihan, kata PLN, bisa terjadi karena penagihan di bulan Maret-Mei tidak sesuai dengan pengunaan listrik semestinya, lalu terjadi kurang bayar. Hal ini bisa terjadi karena salah pencatatan dan input tagihan yang dilakukan petugas PLN.

Terkait kurang bayar ini, PLN memberlakuan carry over atau tagihan yang harus dibayar pelanggan atas kelebihan pemakaian bulan sebelumnya. Sehingga, tagihan listrik yang harus dibayar pun menjadi membengkak.

Jawaban-jawaban PLN itu tetap tak menyurutkan keluhan masyarakat. Karena faktanya, banyak pelanggan yang rumah, toko, apartemen, maupun kantor miliknya dalam kondisi kosong dan tak terpakai namun tagihan listriknya justru membengkak.

Bila didasarkan pada pemakaian rata-rata tiga bulan sebelumnya, maka lonjakan kenaikan tersebut dinilai sangat tidak wajar. Bagaimana mungkin tempat yang tidak ditinggali tapi kenaikan listriknya justru membengkak melebihi kala ditempati.

PLN kembali berdalih lagi. Tempat yang tidak ditinggali pun tetap dikenakan biaya minimum alias abodemen. Namun, bila tagihan atas tempat yang tak ditinggali itu melebihi semestinya maka akan dikembalikan pada bulan berikutnya.

Drama berlanjut kala masyarakat yang keberatan dengan nilai tagihan harus mengurusnya di kantor PLN terdekat. Mereka yang merasa tagihannya jauh di luar kewajaran mau tidak mau harus mendatangi PLN. Pada fase ini konflik akan mendekati puncaknya.

Beberapa kantor PLN melayani dengan sabar keluhan tersebut, namun beberapa lainnya menolak untuk memberikan rincian pemakaian. Bahkan, masyarakat hanya berhadapan dengan Satpam.

Puncaknya, keluhan pelanggan tidak terselesaikan secara win-win solution. Pada akhirnya, suka tidak suka, pelanggan harus membayar lonjakan tagihan itu. Padahal, kesalahan tidak sepenuhnya juga berasal dari pelanggan.

Anehnya, PLN mencatat konsumsi listrik pelanggan turun 10,73 persen pada Mei 2020, menjadi 18,63 Terra Watt hour (TWh) dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yaitu 20,63 TWh.

Pada April 2020, atau bulan sebelumnya, pemakaian setrum juga tercatat turun 4,08 persen menjadi 19,39 TWh. Sayang, PLN tidak menjelaskan detail soal penurunan pemakaian ini.

Padahal, di dua bulan tersebut terjadi lonjakan tagihan listrik yang dialami banyak masyarakat. PLN bahkan mengklaim kenaikan tagihan itu karena besarnya pemakaian setrum selama WFH, SFH, dan menonton Drakor.

Keanehan dan ketidakwajaran ini patut menjadi perhatian serius dari DPR. Karena bukan hanya masyarakat yang mencatat PLN kurang professional dalam memberikan jasanya, tapi juga Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, dan Ombudsman RI.

Bahkan, YLKI meminta audit terhadap PLN terhadap lonjakan tagihan listrik di masa pendemi ini. Ombudsman sendiri meminta investigasi khusus untuk mengetahui apakah ada unsur kesengajaan secara paksa menyedot uang rakyat dengan memanfaatkan momentum COVID-19.

Sebagai satu-satunya pemain tunggal penyedia kebutuhan listrik, PLN semestinya segera sadar untuk bertindak bahwa sudah saatnya di era digitalisasi sekarang ini pencatatan tagihan dan pemakaian listrik tidak lagi secara manual.

Sehingga tidak ada lagi masyarakat yang mendadak kaget melihat tagihan listrik yang melonjak lebih dari 100 persen.

PLN juga bisa semakin efesien dengan pencatatan digital, karena tidak diperlukan lagi petugas pencatat meter yang ternyata merupakan vendor, atau perusahaan pihak ketiga.

Lebih dari itu, ruang pengaduan dan pelayanan terhadap pengaduan masyarakat semestinya sama baiknya di semua kantor PLN. Semoga!

*Eroby J Fahmi, Jurnalis

Tags

Tulisan terkait

Bimata
Close