Bimata

#IndonesiaTerserah, Putus Asanya Masyarakat terhadap Pemerintah?*

DUNIA maya di Indonesia tengah ramai dengan tanda pagar (Tagar) #indonesiaterserah. Tagar ini menarik perhatian para warganet di media sosial sejak Jumat (15/5/2020).

Topik ini muncul usai seorang tenaga medis berpakaian Alat Pelindung Diri (APD) lengkap mengunggah konten ke sosial media sambil menunjukkan sebuah tulisan “INDONESIA??? TERSERAH!!! Suka-suka Kalian Saja”.

Konten yang disertai tagar #indonesiaterserah ini diunggah setelah dua anomali di tengah Pandemi COVID-19, dan pemberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Pertama, kerumunan massa saat penutupan salah satu gerai fastfood di salah satu pusat perbelanjaan ikonik di pusat Jakarta. Dan, keramaian antrian di Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta karena pelonggaran pemberangkatan pesawat terbang.

Anomali, karena di tengah wabah virus yang sudah menewaskan sekitar 1.192 orang, termasuk 52 tenaga kesehatan, dan pemberlakukan PSBB, nyatanya Pemerintah belum mampu membuat masyarakat #dirumahsaja dan #stayathome.

Tulisan ini tidak akan menyalahkan masyarakat yang berada saat penutupan gerai makanan cepat saji maupun yang berada di Terminal 2 Bandara Soetta, walaupun tagar itu muncul karena adanya dua aktivtas tersebut.

Tapi, tulisan ini akan menyoroti kemampuan Pemerintah dalam menangani COVID-19. Sangat mungkin terjadi, alasan adanya aktivitas keramaian dan munculnya tagar adalah karena putus asanya masyarakat terhadap Pemerintah dalam menangani koronavirus.

Anomali

Sejak temuan pertama kali penderita koronavirus pada 2 Maret 2020 lalu, hingga 20 Mei 2020 terkonfirmasi ada 19.189 kasus positif di Indonesia, dengan 12.495 kasus aktif, 4.324 kasus sembuh, dan 1.191 kasus meninggal.

Sebelum koronavirus pertama kali diumumkan itu, tak terlihat langkah antisipatif yang dilakukan Pemerintah. Padahal, kasus itu sudah mewabah luar biasa dari tempat asalnya, Wuhan, China, sejak Desember 2019.

Alih-alih menyusun mitigasi bencana kemungkinan masuk dan mewabahnya virus tersebut, banyak pejabat Pemerintah setingkat menteri justru mengeluarkan pernyataan yang menganggap remeh koronavirus dan yakin virus tersebut tidak akan masuk Indonesia.

Sayangnya, keyakinan dan menganggap remeh itu tak dibarengi dengan mitigasi bencana. Pemerintah tidak membatasi, dan memberlakukan protokol ketat terhadap warga negara (WN) asing yang masuk ke Indonesia. Bahkan, sekadar alat pemindai suhu tubuh, masker, dan sabun pencuci tangan pun tak disiapkan di bandara, pelabuhan, maupun pintu masuk Indonesia.

Pemerintah justru mengeluarkan kebijakan anomali yakni kebijakan stimulus penerbangan bagi turis yang berkunjung ke Indonesia sebesar Rp10,3 triliun, dan menyiapkan anggaran Rp72 miliar bagi buzzer dan influencer asing untuk menarik wisawatan ke Indonesia.

Pemerintah Indonesia baru melarang semua penerbangan dari dan ke China, dan berhenti memberikan visa dan visa kedatangan bagi warga negara China pada 5 Februari. Namun, meski ada larangan dan protokol ketat terhadap kedatangan WN China, mereka masih saja lolos dan masuk ke Indonesia tanpa karantina pada Februari dan Maret 2020.

Setelah diumumkan kasus pertama penderita koronavirus di Indonesia pada 2 Maret, mulai terlihat bagaimana gagapnya Pemerintah. Nampak bagaimana Pemerintah belum punya mitigasi bencana yang komprehensif, mulai dari payung hukum sampai bagaimana pandemi koronavirus ditangani.

Baru pada 6 Maret Pemerintah menerbitkan lima protokol utama yang berkaitan dengan COVID-19. Dan, mulai 8 Maret, pembatasan perjalanan penerbangan diperluas hingga Korea Selatan, Italia, dan Iran.

Setelah ada korban pertama yang meninggal, Pemerintah baru mengakui bahwa mereka mengalami kesulitan dalam mendeteksi kasus impor koronavirus di bandara. Pemerintah juga kesulitan untuk melakukan penelusuran kontak, dan juga riwayat lokasi untuk setiap kasusnya.

Hampir dua minggu usai kasus pertama muncul, baru pada 13 Maret Pemerintah menunjuk 132 rumah sakit rujukan COVID-19 di seluruh Indonesia. Pada hari yang sama, Presiden Joko Widodo menetapkan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 dengan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai ketua gugus tersebut.

Usai 12 hari kasus pertama diumumkan, Pemerintah Indonesia menyatakan pandemi koronavirus sebagai bencana nasional. Pada 15 Maret, Presiden Jokowi mengimbau masyarakat untuk menjaga jarak sosial (social distancing) yang kemudian diubah istilahnya menjadi physical distancing demi memperlambat penyebaran COVID-19.

Kondisi yang paling ironis adalah kekurangan Alat Pelindung Diri, alat uji tes COVID-19, dan masker, baik untuk tenaga medis maupun masyarakat luas. Walaupun hal ini dibantah Pemerintah, nyatanya terlihat kasatmata di masyarakat bagaimana begitu susah dan mahalnya mendapatkan masker dan melakukan tes uji. Hal ini pula yang jadi salah satu faktor banyak tenaga medis meninggal dunia.

Bisa dilihat, pada 19 Maret Pemerintah baru memutuskan akan mengimpor alat uji cepat koronavirus. Dan, BUMN farmasi, yakni PT RNI, bakal memproduksi 4,7 juta masker yang bakal tersedia akhir Maret 2020.

Ketika penderita koronavirus semakin meningkat jumlahnya, pada 31 Maret 2020, Presiden Jokowi menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 yang mengatur Pembatasan Sosial Berskala Besar. Aturan ini dikeluarkan Pemerintah setelah bimbang apakah akan memberlakukan lock down (penguncian diri), menerapkan herd immunity, atau tidak dua-duanya.

Dengan adanya PSBB, Pemerintah Pusat menyerahkan kewenangan pada Pemerintah Daerah untuk membatasi pergerakan orang dan barang masuk dan keluar dari daerah masing-masing asalkan mereka telah mendapat izin dari kementerian terkait, dalam hal ini Kementerian Kesehatan.

Lagi-lagi, anomali terjadi. Saat masyarakat menuruti imbaun Pemerintah untuk berada di rumah, bekerja dari rumah, dan belajar dari rumah hampir selama dua bulan lamanya, Pemerintah justru membolehkan masyarakat untuk pulang kampung, dan mengijinkan moda transportasi kembali beroperasi. Pemerintah pun meminta masyarakat berdamai dengan COVID-19.

Ironisnya, Pemerintah mengaku belum melonggarkan PSBB, namun membiarkan kerumunan masyarakat di pusat perbelanjaan, bandara, bahkan menggelar konser yang melanggar protokol PSBB.

Lebih anomali lagi, Pemerintah tak fokus menangani bencana nasional dengan mengeluarkan kebijakan Kartu Prakerja, dan menaikkan iuran BPJS alih-alih membuat program pengaman sosial yang bisa dirasakan langsung manfaatnya.

Walaupun banyak masyarakat yang menolak kebijakan-kebijakan Pemerintah yang dikeluarkan di tengah pandemi tersebut, Pemerintah tak bergeming.

Dari semua anomali itulah, munculnya tagar #indonesiaterserah yang disambut ramai warganet dapat diartikan sebagai sikap putus asanya masyarakat terhadap Pemerintah.

Masyarakat secara tidak langsung hendak memberitahu, Pemerintah mau mengeluarkan kebijakan apapun, terserah. Dikritisi, dan ditolak pun Pemerintah tetap tidak berpengaruh.

Toh, selama ini masyarakat merasakan dibiarkan bertarung sendirian melawan, dan hidup berdampingan dengan COVID-19.

*Eroby J Fahmi, jurnalis.

Exit mobile version