BIMATA.ID, Jakarta- Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PDI-Perjuangan Tuti Nusandari Roosdiono menegaskan Komisi IX fokus mendalami secara intensif terkait permasalahan tenaga kesehatan honorer termasuk status dan kesejahteraannya. Mengingat, rencana pemerintah yang akan menghapus tenaga honorer kesehatan pada 2023.
Padahal, Tuti menyatakan hak untuk bekerja dan mendapat penghidupan yang layak bagi kemanusiaan adalah hak mendasar bagi seluruh warga negara sebagaimana diatur dalam UUD 1945 yang harus diberikan oleh pemerintah. Maka, kehadiran solusi nyata dari pemerintah pusat dan daerah sangat diharapkan
“Terlebih setelah adanya ketentuan UU No 5 tahun 2014 tentang ASN dan PP No.49 tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja. Dimana akan dihapusnya tenaga kerja honorer pada seluruh instansi pemerintah dengan batas waktu hingga November 2023,” ujar Tuti, Senin (12/09/2022).
Persoalan tenaga kerja honorer ini tentunya tidak hanya pada bidang kesehatan tapi juga pada bidang kerja lainnya, sehingga hal ini juga menjadi perhatian serius pimpinan DPR RI. Mengingat pentingnya persoalan tenaga honorer ini, maka Pimpinan DPR RI akan membentuk Panitia Khusus (Pansus) DPR.
“Sehingga diharapkan akan ditemukan jalan keluar sehingga mereka dapat direkrut menjadi tenaga kerja PPPK,” ujar Tuti.
Dirinya menuturkan, upaya penataan ASN yang dilakukan pemerintah saat ini tentu akan berdampak pada keberadaan tenaga honorer yang telah ada. Selain itu menurut dia akan menimbulkan persoalan, di mana dengan waktu singkat ini pemerintah pusat dan daerah melakukan proses perekrutan tenaga honorer untuk diangkat menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja.
Di sisi lain, diketahui cukup banyak nomenklatur jenis pegawai di instansi pemerintah selain PNS dan PPPK, seperti Tenaga Honorer, Tenaga Ahli, Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri (PPNPN), Pegawai Kontrak, Pegawai Tidak Tetap (PTT), Tenaga Pendamping, Sukarelawan dan sebagainya dengan tingkat pendidikan, keahlian dan standar gaji yang berbeda-beda.
Di samping itu, bisa dilihat banyaknya tenaga honorer dengan upah yang bersumber selain dari APBD, juga dari BLUD. Persoalan lain untuk dipertimbangkan dalam hal kecukupan atau kekuatan keuangan masing-masing instansi pemerintah untuk membiayai PPPK dan tenaga alih daya (outsourcing).
“Selain itu, dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah (HKPD) menekankan batas belanja pegawai maksimal sebesar 30 persen dari APBD dan batas minimal belanja modal minimal sebesar 40 persen dari APBD,” ungkapnya.
(ZBP)