BIMATA.ID, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia (RI), menggelar sidang pengujian materiil Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dengan nomor perkara 4/PUU/-XX/2022.
Hal itu digugat oleh pemohon yang diwakili oleh Kuasa Hukum pemohon, yaitu Alvin Lim. Dia ingin menguji Pasal 5 Ayat 1 di dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 dan menambahkan di dalam pasalnya bahwa penyidikan tidak boleh dihentikan.
“Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, bagian a. Karena kewajibannya mempunyai wewenang. Pertama, menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana. Kedua, mencari keterangan dan barang bukti. Ketiga, menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan, serta memeriksa tanda pengenal diri. Dan keempat, mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab,” ucapnya, Selasa (18/01/2022).
Kemudian, Alvin menjelaskan, atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa satu penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan. Kedua, pemeriksaan dan penyitaan surat. Ketiga, mengambil sidik jari dan memotret seorang dan membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.
Bagian dua, penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan sebagaimana tersebut pada Ayat (1) huruf a dan huruf b kepada penyidik.
Alvin memohon kepada MK RI untuk memberikan putusan dan menerima permohonan seluruhnya. Ia menyatakan, Pasal 5 Ayat 1 di dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) dan tidak punya kekuatan hukum.
Sementara itu, Ketua Majelis dari MK RI, Suhartoyo mengungkapkan, kalau permintaan kuasa hukum Alvin itu harus diperbaiki. Pertama, perhatikan pasal dan ayat. Menguji Pasal 5 ayat 1 harus dilihat dari serangkaian isi dari penyelidikan.
Jika dipaksakan untuk tidak boleh menghentikan penyelidikan, namun tidak ada unsur pidana. Hal ini bisa fatal. Sehingga, jika ingin menambahkan kata tidak boleh menghentikan penyidikan harus mempunyai argumen yang kuat.
“Penyidikan itu bermacam-macam dan memiliki karakteristrik. Bisa berbulan-bulan serta bertahun-tahun. Namun, kalau penyidikan itu tidak ada unsur pidana tidak bisa dipaksakan. Dan tidak boleh juga mengurung seseorang yang tidak bisa dibuktikan terlibat dalam unsur pidana. Itu namanya merampas hak,” ungkap Suhartoyo, dikutip dari YouTube Mahkamah Konstitusi RI.
[MBN]