BIMATA.ID, Jakarta – Ketua Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), Willy Aditya mengaku, RUU ini berbasis sosio-kultural.
“Jadi, publik tidak usah khawatir kami menyusun undang-undang ini dengan penuh kecermatan. Berbasis sosio-kultural. Kata-kata sexual consent tidak ada dalam paltform itu,” ungkapnya, di Ruang Badan Legislatif (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) Gedung Nusantara I, Jakarta Pusat, Rabu (17/11/2021).
Politikus Partai Nasional Demokrat (NasDem) ini menyampaikan, RUU TPKS berbeda dengan Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Permendikbud Ristek) RI tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
“Ini berbeda dengan Permendikbud,” imbuh Willy.
Willy memaparkan, RUU merupakan payung hukum untuk melindungi kelompok rentan.
“Yang paling penting kita memberikan payung hukum kepada aparat penegak hukum. Berkaca dari kasus KPI, UNRI kemarin kan tidak ada payung hukum,” papar Legislator daerah pemilihan (Dapil) Provinsi Jawa Timur (Jatim) XI ini.
Wakil Ketua Baleg DPR RI ini juga mengatakan, agenda rapat Panja RUU TPKS hari ini mendalami sejumlah isu yang belum diselesaikan pembahasan sebelumnya.
“Ada materi yang akan disampaikan, mana yang menjadi aspirasi anggota yang sudah dimasukkan dan ditampung, dan mana yang tidak bisa diakomodir,” kata Willy.
Sebelumnya, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) mengancam akan berunjuk rasa di Gedung DPR RI. Mereka menuntut Baleg DPR RI tidak mengesahkan RUU TPKS.
Pasalnya, mereka beralasan konsep persetujuan seks yang ada dalam RUU tersebut memberi ruang terjadinya seks bebas.
[MBN]