BIMATA.ID, JAKARTA- Hingga akhir Februari 2020, indeks harga saham gabungan (IHSG) telah terkoreksi sebesar -13.4 persen sementara index pasar saham Amerika S&P500 jatuh -8.56 persen sejak awal tahun. Chief Investment Officer PT Jagartha Penasihat Investasi (Jagartha Advisors) Erik Argasetya mengatakan, berbagai langkah untuk menghindari perlambatan ekonomi global telah dilakukan oleh bank sentral di dunia. Seperti kebijakan moneter yang dilakukan oleh bank sentral Amerika The Federal Reserve beberapa saat lalu dengan memangkas suku bunga acuan sebesar 50 basis poin (bps) menjadi kisaran 1.00–1.25 persen.
Begitu pula apa yang telah dilakukan oleh Bank Indonesia dengan menurunkan suku bunga sebesar 25 bps menjadi 4,75 persen dan juga merelaksasi aturan giro wajib minimum (GWM) valas bagi perbankan turun dari 8,0 persen menjadi 4.0 persen bagi dana pihak ketiga yang diperkirakan akan memberikan likuiditas tambahan sebesar Rp 45 triliun. Valuasi IHSG saat ini dengan Price Earning Ratio (PER) di kisaran 12.3–12.5x (-2 standar deviasi di bawah mean) sudah menandakan aluasi yang relatif cukup murah, mengingat rata-rata historikal PER IHSG yang biasanya berada di level 15–16x selama 10 tahun terakhir.
valuasi IHSG saat ini sudah mendekati valuasi saat terjadi krisis finansial global 2008. Ini merupakan kesempatan yang baik untuk dapat mengoleksi saham-saham di bursa Indonesia. Perusahaan penasihat investasi independen Jagartha Advisors sendiri kerap melakukan kajian terhadap strategi apa yang kiranya bisa menjadi jalan keluar bagi investor yang terlanjur terdampak lesunya kinerja pasar modal.
Erik mengatakan, investor perlu mempertimbangkan berinvestasi ke dalam investasi alternatif.
“Diversifikasi ke sektor ini sebetulnya dapat memberikan eksposur yang berbeda bagi portofolio investor dikarenakan korelasi yang cenderung rendah terhadap instrumen pasar modal lainnya,” katanya.
Investasi alternatif pun telah menjadi pilihan bagi para investor di luar negeri terutama di kalangan nasabah High Net Worth Individuals (HNWI) selama ratusan tahun. Penambahan investasi alternatif dalam sebuah portofolio sering kali digunakan sebagai strategi untuk melakukan beberapa hal seperti diversifikasi resiko, peningkatan imbal hasil (yield enhancement) dan juga preferensi spesifik dari investor itu sendiri, misalnya lukisan kuno, barang antik, botol anggur berusia ratusan tahun. Seiring berkembangnya waktu, Erik menyatakan Investasi alternatif tradisional di atas mulai meluas ke usaha-usaha yang mengadopsi inovasi teknologi. Salah satunya adalah industri perfilman di Tanah Air di mana sebelum 2017 berada dalam status Daftar Negatif Investasi (DNI) yang berarti hanya kalangan terbatas yang dapat berinvestasi dalam industri tersebut.
Penonton seakan dimanjakan oleh berbagai macam pilihan yang ada. Investor pun semakin tertarik dan tergiur untuk berinvestasi ke dalam industri perfilman Indonesia sejak dicabutnya dari Daftar Negatif Investasi (DNI) tersebut.
“Investasi alternatif lain yang tidak kalah menarik adalah berinvestasi ke dalam perusahaan rintisan atau biasa kita kenal dengan istilah startup di kalangan para investor. Begitu banyak startup yang bermunculan, tetapi tidak sedikit pula yang berjatuhan. Oleh sebab itu, investor juga harus jeli dalam melihat potensi dari business model dan ecosystem dari startup tersebut,” jelasnya.
Erik menekankan, investasi konvensional seperti di instrumen saham, obligasi, reksadana dan properti masih menjadi pilihan sebagian besar investor. Di Kaltim sendiri, instrument saham grafiknya meningkat. Tapi, dari property cenderung melambat,” bebernya. Ia menerangkan, seiring tingginya ketidakpastian pasar global, Ia melihat tidak ada salahnya investasi alternatif dipertimbangkan guna mendiversifikasi resiko. “Ditambah lagi, di saat yang bersamaan meningkatkan potensi imbal hasil portofolio bagi para investor,” tutup Erik.
Sumber :prokal[dot]co
Editor :ZBP