BeritaEkonomiPertanianRegional

Petani Milenial Palembang Bisa Bertani di Lahan Terbatas

BIMATA.ID, Sumsel- Pindah ke kota tidak menyurutkan Syahrin (32) untuk berhenti bertani. Lahir dari keluarga petani membuat dirinya tetap menggeluti sektor yang menjadi sokoguru perekonomian Tanah Air.

Meski memiliki lahan 3×5 meter di samping rumahnya, Syahrin mulai menanam berbagai tanaman Hortikultura seperti cabai, pare, timun, terong, hingga umbi-umbian.

“Saya memang dari kecil suka bertani karena orangtua adalah petani. Sering ikut orangtua ke lahan jadi belajar banyak cara mengelola, termasuk di lahan yang terbatas,” ungkap Syahrin yang juga Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Sumsel, Jumat (11/06/2021).

Meski sudah lama tinggal di kota dan mengenyam jenjang pendidikan yang lebih tinggi, Syahrin tidak menurunkan minatnya pada sektor pertanian. Justru dia melihat pertanian sebagai sektor yang tangguh menghadapi pandemik hampir dua tahun ini.

Dirinya tetap memantau lahan pertanian milik keluarganya di desa. Tak jarang, dirinya kembali untuk mengisi waktu senggang untuk bertani.

“Saya mau mengubah pola pikir masyarakat terhadap petani. Biasanya, petani dianggap miskin, pekerjaannya dianggap secara ekonomi tidak menjanjikan,” jelas dia.

Pria asal Kecamatan Pedamaran, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) tersebut menjelaskan, tempat asalnya bayak diisi oleh transmigran. Otomatis, 90 persen masyarakatnya adalah petani. Kondisi ini membuat Syahrin tak bisa melepaskan identitas diri sebagai petani.

Menurutnya dengan menjadi petani, setiap orang bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Sekaligus mencoba menyalurkan keahlian dengan memanfaatkan lahan kosong.

“Menjadi petani juga bisa sejahtera, hanya saja pendapatan mereka tidak merata dibanding PNS atau kontraktor,” jelas dia.

Syahrin mengajak anak muda baik yang ada di desa maupun kota untuk bertani. Menurutnya, kaum millennial tidak boleh takut gagal sukses lewat pertanian. Bertani bagi anak-anak muda bia menciptakan pola baru di luar pertanian konvensional.

Bagi anak-anak muda di desa, mereka dapat mengelola lahan yang luas sedangkan anak muda di perkotaan dengan keterbatasan lahan, dapat memanfaatkan tempat yang sempit dengan seoptimal mungkin.

“Harus ada inovasi dalam bertani, anak muda bisa meninggalkan cangkul dan alat tradisional. Mereka bisa memadukan kemajuan teknologi,” jelas dia.

 

(Bagus)

Tags

Tulisan terkait

Bimata
Close