BIMATA.ID, Jakarta – Keberadaan pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) didukung. Bahkan, ketentuan ini disarankan berlaku untuk semua masyarakat, bukan kelompok atau jabatan tertentu.
“Tidak hanya diterapkan untuk Presiden ataupun DPR saja, tapi diterapkan untuk semua warga negara. Jadi, jika ada yang mendapat perilaku penghinaan, sudah ada aturannya yang jelas,” tutur Wakil Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI), Ahmad Sahroni, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (09/06/2021).
Legislator daerah pemilihan (Dapil) Provinsi DKI Jakarta III ini meyakini, keberadaan ketentuan yang ada di Pasal 218 dan 219 KUHP versi revisi itu tidak akan membungkam kritik. Pasal ini hadir untuk menyetop pernyataan yang menghina pribadi Kepala Negara.
Bendahara Umum (Bendum) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Nasional Demokrat (NasDem) ini mengemukakan, menghina seseorang adalah perbuatan terlarang. Sudah sewajarnya ketentuan tersebut dimasukkan dalam revisi KUHP.
“Siapa pun yang melakukan penghinaan, secara langsung ataupun terbuka melalui media sosial, jelas perilaku yang salah dan patut ada payung hukumnya,” pungkas Sahroni.
Pria kelahiran Jakarta, 8 Agustus 1977 ini menilai, masyarakat tetap diperbolehkan mengkritik kinerja Pemerintah seluas-luasnya. Namun, kritik yang disampaikan tidak boleh menyingung SARA, fisik, atau tidak sesuai fakta.
“Jadi itu bebas saja, selama tidak masuk ke ranah penghinaan apalagi sudah bersifat hoaks,” imbuh Sahroni.
Ketua Bidang Usaha dan Dana Majelis Pimpinan Nasional (MPN) Pemuda Pancasila (PP) ini menjamin, Komisi III DPR RI dan Pemerintah RI akan menyusun pasal-pasal yang ada di revisi KUHP dengan baik. Eksekutif dan legislatif berjanji tidak ada ketentuan yang mengandung multitafsir, sehingga rawan disalahgunakan.
“Supaya pasal ini clear dan tentunya tidak menjadi pasal karet,” ucap Sahroni.
[MBN]