Opini

Diskursus Brantas Ilegal Fishing

Penulis: Rusdianto Samawa, Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI)

BIMATAnews.com, Jakarta – “Presiden dan Menteri KKP Mestinya Lakukan Pencegahan dan Reformulasi Kembali Tugas-Tugas dan Anggaran Satgas 115.”

Sebelumnya, Edhy Prabowo pada awak media menegaskan: ke depan tidak akan ada lagi penenggelaman kapal. Hal ini disampaikannya saat mengunjungi Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) di Jembatan II Barelang Batam, Kepulauan Riau, Rabu (13/11/2019).

“Tentu Menteri Edhy Prabowo ingin lebih fokus pada pembinaan serta menyejahterakan nelayan Indonesia. Meski begitu penenggelaman kapal bisa saja dilakukan khususnya bagi kapal-kapal yang melarikan diri saat ditindak. Sementara kapal yang berhasil ditangkap dan inkrah, ke depan bisa saja dimanfaatkan untuk nelayan.” Katanya kepada awak Media.

Namun, pada periode sebelumnya, saat menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti orientasi berantas dan menangkap kapal illegal fishing yang membuat masyarakat pertanyakan konsepnya, baik dari sisi metode penangkapan, penengelaman, pengeboman maupun sumber anggaran operasional Satgas 115 dalam melakukan operasi dilaut.

Mengapa? metode penangkapan dipertanyakan sebagai diskursus dalam 5 tahun ini, karena kapal yang pernah ditangkap sebelumnya, lalu ditangkap kembali pada bulan atau tahun berikutnya oleh petugas di perairan Indonesia.

Artinya, kerja-kerja penangkapan kapal ilegal fishing memenuhi tiga unsur dugaan, yakni 1). Gratifikasi: menangkap kapal pertama, lalu melepas dengan dugaan petugas disogok ditengah laut: 2). Tekanan: bisa jadi tekanan antar negara, misalnya Menteri Luar Negeri Vietnam menekan Indonesia agar melepas kapal yang ditangkap itu: 3). membom kapal: penghancuran terhadap kapal dengan metode bombing dilakukan hanya sebagai simbol semata, yang di Bom itu bukan kapal yang ditangkap, tetapi mengumpulkan kapal rusak dan kapasitas gross ton kecil, lalu dibawa ke tengah laut dan kemudian di Bom pada suatu hari berikutnya.

Begitupun metode penenggelaman dan bombing kapal: metode ini penuh kecurigaan atas pelaksanaannya yang tergantung pada besaran anggaran yang dipergunakan untuk penenggelaman dan bombing itu. Apalagi ada kekhawatiran yang berlebih, kalau kapal yang tidak ditenggelamkan atau tidak dibom, akan kembali kepada yang punya lagi.

Kekhawatiran ini sudah ada sejak Menteri KKP Susi Pudjiastuti bahwa tidak didasarkan pada kajian yang lebih komprehensif agar bisa menempuh jalur lain. Selama ini, masa-masa menteri KKP Susi Pudjiastuti tidak memakai jalur penuntutan dipengadilan. Proses penangkapan, penenggelaman dan bombing itu bukan bagian dari keputusan hukum dipengadilan, melainkan kebijakan “monoton (satu alur)”.

Kalau saja tidak dibom, bakar dan tenggelamkan, tentu berpengaruh pada lingkungan hidup karena membiarkan kapal-kapal tersebut menjadi sampah yang merusak perairan laut. Karena itu sebaiknya meninjau ulang proses bom, penenggelaman dan pembakar kapal di tengah laut. Sebab konsep tersebut bertolak belakang dengan apa yang disebut “maritim clear” yakni konsep maritim yang bersih dan bagus.

Secara politik, keputusan langsung penenggelaman dan bombing atas kapal-kapal yang ditangkap itu merupakan sebuah kegagalan fokus pada proses berantas ilegal fishing itu sendiri. Sebaiknya kapal-kapal yang pernah ditangkap.tersebut dialihkan statusnya dari kapal asing menjadi kapal nasional. Maka ada baiknya kapal tersebut dibagikan kepada nelayan untuk memudahkan menangkap ikan dan KKP sendiri memberi jaminan akan izin operasionalnya. Alih status tersebut penting daripada kapal-kapal tersebut rusak dan dibiarkan menjadi sampah.

Kalau melihat keputusan pengadilan sebuah masalah, memang tidak bisa dipaksakan agar pengadilan memutuskan kapal illegal fishing untuk ditenggelamkan. Tentu, tidak ada dasar hukum bagi pengadilan untuk memerintahkan ditenggelamkan dan dibom. Tetapi, putusan pengadilan lebih pada pemanfaatan terhadap kapal ilegal fishing yang telah disita negara untuk dilelang sehingga masyarakat bisa memanfaatkan kapal tersebut.

Tentu, konsep Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo disambut baik agar kapal – kapal ilegal fishing itu dilelang kepada nelayan dan pengusaha Indonesia untuk bisa dimanfaatkan sehingga pendapatan negara pun bertambah. Sekaligus hal ini tantangan tersendiri agar lebih meningkatkan pengawasan yang maksimal diwilayah perairan Indonesia.

Yang lebih khawatir, menurut Edhy Prabowo, bahwa: “bisa saja anak buahnya mudah dibayar, tiba-tiba ditengah laut transaksi. Kita harus lebih cerdik dan paham dengan permainan ini. Pemberian kapal yang sudah berkedudukan hukum tetap atau inkracht di pengadilan kepada nelayan nantinya akan diberikan pengawasan yang real time. Artinya, keberadaan kapal bisa dimonitor. Selanjutnya membangun komunikasi dengan Kepolisian, TNI dan Bakamla akan terus dibangun agar program ini bisa berjalan maksimal.” Katanya.

Pijakan keputusan untuk mengontrol perairan dengan berbagai alat: Vessel Monitoring System (VMS) dan kapal pengawas, tentu harus kuat. Hal itu bisa dikerjakan secara terus menerus apabila anggarannya cukup untuk mengawasi keberadaan kapal ilegal tersebut.

Sejauh ini, nelayan sangat mendukung pemerintah berantas illegal fishing sehingga harus ada kesamaan pola berpikir supaya kebijakan itu dikerjakan secara bersama agar terintegrasi dalam satu visi untuk bebaskan laut Indonesia dari kejahatan pencurian ikan diseluruh perairan Indonesia.

Selain itu, komunikasi antar lembaga dan instansi pemerintah seperti kepolisian, Kejaksaan Agung, Bakamla dan TNI Angkatan Laut, harus terbuka koordinasinya. Sehingga kedepan tidak ada masalah dan memudahkan kerja KKP dalam mengontrol sektor kelautan di Indonesia.

Keutamaannya melibatkan nelayan itu sangat penting sekali, karena mereka setiap hari dan malam melaut diseluruh perairan Indonesia. Ada baiknya, pemerintah memberikan nelayan kesempatan (tidak dibatasi), bangun komitmen dan terbuka dalam dialog secara bersama – sama memberantas ilegal fishing. Apalagi, pemerintah memiliki kemampuan untuk membekali nelayan secara lengkap alat untuk komunikasi langsung apabila ada kapal asing lakukan pencurian di perairan Indonesia.

Tidak memantik adanya persoalan tersumbatnya upaya pemberantasan Ilegal Fishing sebagai sala satu kebijakan populis. Faktor keterhambatan adalah tersumbatnya komunikasi yang baik dengan nelayan sebagai mitra terbaik pemerintah untuk menjaga laut secara utuh tanpa gangguan.
Keterputusan komunikasi itu, lebih pada pandangan subjektif pemerintah terhadap nelayan, misalnya melarang alat tangkap yang selama ini hasil modernisasi nelayan itu sendiri.

Seumpama komunikasi baik itu terjalin bagus dan erat antara pemerintah sebagai sektor regulasi dengan nelayan sebagai pelaksana regulasi. Maka kedepan pasti akan lebih baik sekali. Namun, justru komunikasi yang diharapkan itu terhambat karena substansi dasarnya tidak dipahami.

Padahal, apapun argumentasi yang ada, kita semua inginkan nelayan sejahtera. Tetapi tidak dengan melarang alat tangkap atas justifikasi sebagai pelaku over fishing dan ilegal fishing. Apalagi ada kanalisasi terhadap nelayan dengan menjustifikasi alat tangkapnya itu sebagai perusak ekosistem laut.

Padahal seluruh alat tangkap apabila tidak dilakukan mitigasi dan pengendalian, maka akan merusak. Jika dilakukan pengendalian melalui regulasi yang baik. Maka alat tangkap yang dipakai nelayan sesungguhnya membawa bangsa Indonesia dipandang positif dan bisa mensejahterakan nelayannya.

Kembali pada substansi ilegal fishing. Diskursus selama 5 tahun ini memang kekosongan ruang komunikasi. Maka, pada intinya harus ada komunikasi yang baik. Pemerintah juga sebaiknya memberi apresiasi nelayan yang membantu pemerintah lakukan berantas illegal fishing. Sala satu contohnya, ketika nelayan pulau Podang, Pangkep beberapa tahun lalu mampu mengungkap keberadaan kapal Vietnam diperairan Kendari Sulawesi Tenggara.

Pola dan upaya diatas sala satu komitmen nelayan untuk membantu pemerintah berantas Ilegal Fishing. Karena pemerintah tak bisa sendiri seperti superhero untuk berantas ilegal fiahing. Maka perlu bantuan nelayan secara sukarela dan bersama-sama. Karena pemerintah memiliki keterbatasan dalam patroli sehingga membutuhkan kerjasama yang baik dengan nelayan.

Tak ada ada satu pun rakyat Indonesia menolak kebijakan dalam memberantas illegal fishing. Rakyat sangat gembira, dunia perikanan berterima kasih. Akan tetapi, menyalahi konsep. Karena di berbagai TPI-TPI besar di seluruh Indonesia, kapal yang ditangkap sudah kurang lebih 3 tahun tidak musnahkan.

Kedepannya, pemerintah melalui KKP harus berhenti menyakitkan perasaan nelayan dengan stigmatisasi label kartel proxy asing dan pelaku ilegal fishing. Sekarang, semua pihak harus melakukan evaluasi dan monitoring yang ketat terhadap program ilegal fishing, terutama masalah anggaran operasional satgas 115 yang selama ini tidak jelas sumber dapatkan anggaran.

Yang terpenting, kedepan Presiden Joko Widodo dan Menteri KKP secara bersama pula lakukan reformulasi kembali tugas-tugas dan anggaran Satgas 115. Karena selama ini tugasnya terkesan mengambil peran bakamla dan anggarannya pun bersumber dari dana alokasi Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP).
Tags

Tulisan terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Bimata
Close