
BIMATA.ID, Jakarta – Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Anggito Abimanyu mengingatkan bahwa ketahanan fiskal Indonesia kini menghadapi tekanan dari berbagai arah. Ia menyebut ada tiga tantangan utama yang perlu diwaspadai, yakni meningkatnya tensi geopolitik, konflik dagang antarnegara, dan menguatnya proteksionisme di berbagai kawasan dunia.
Kondisi global yang tidak menentu itu, kata Anggito, dapat memberi pengaruh langsung terhadap posisi fiskal nasional. “Menghadapi dinamika global tersebut, Pemerintah Indonesia menyiapkan lima strategi utama untuk memperkuat sistem perpajakan nasional,” ungkapnya saat menjadi pembicara dalam 16th Asia Pacific Tax Forum, Kamis, 17 Juli 2025, sebagaimana dikutip dari laman resmi Kementerian Keuangan.
Baca Juga: Garuda Bangkit, Ekspor RI Melaju: Presiden Prabowo Lindungi Pekerja
Langkah pertama yang kini sedang ditempuh pemerintah adalah memperluas pertukaran data antar-lembaga. Program ini melibatkan kolaborasi lintas direktorat dalam Kemenkeu—seperti Ditjen Pajak, Ditjen Bea Cukai, dan Ditjen Anggaran—serta kerja sama dengan kementerian sektor ekonomi dan investasi lainnya.
“Kami baru memulai tahun ini dan kami ingin memperluasnya. Saya pikir kita punya ide untuk mengintegrasikan semua informasi bersama-sama sehingga dapat melihat di mana letak transaksi untuk memberikan kebijakan pajak yang adil dan transparan,” tutur Anggito.
Kebijakan kedua, lanjutnya, adalah memperkuat sistem pengawasan terhadap transaksi digital, baik yang terjadi di dalam negeri maupun lintas batas negara. Hal ini penting seiring dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi digital dan tantangan dalam menagih pajak secara adil terhadap pelaku usaha berbasis teknologi.
Strategi ketiga berkaitan dengan penyesuaian tarif bea masuk dan ekspansi terhadap objek cukai. Menurut Anggito, instrumen fiskal seperti ini bukan hanya untuk meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga untuk menopang industrialisasi dan melindungi masyarakat dari produk yang berdampak buruk.
“Dengan deglobalisasi dan proteksionisme, masing-masing negara harus memiliki perlindungan yang baik. Itulah sebabnya kami memperkenalkan banyak solusi perdagangan dan hilirisasi industri. Jadi, kita dapat menggunakan berbagai jenis instrumen pajak, bea dan cukai untuk mencapai berbagai tujuan ekonomi,” jelasnya.
Pemerintah juga berfokus pada pemanfaatan sumber daya alam sebagai pilar penerimaan keempat. Anggito menegaskan bahwa seluruh pelaku usaha yang memanfaatkan kekayaan alam Indonesia wajib berkontribusi terhadap pembangunan nasional.
Ia mengatakan, “Sesuai dengan arahan Presiden Prabowo, pengusaha yang memiliki bisnis dan mengekstraksi sumber daya alam Indonesia harus membayar kembali kepada ekonomi Indonesia.”
Langkah terakhir adalah pengembangan sistem informasi perpajakan dan kepabeanan berbasis digital. Pemerintah kini memperkuat tiga sistem utama, yakni Coretax, CEISA, dan SIMBARA, sebagai bagian dari upaya membangun ekosistem perpajakan yang lebih transparan, efisien, dan patuh aturan.
“Ini untuk meningkatkan kepatuhan, integrasi data, transparansi, dan memperkuat administrasi perpajakan dan bea cukai,” ucap Anggito.
Forum pajak tahunan yang digelar di kawasan Asia Pasifik ini menjadi ajang berbagi pandangan antar pemangku kepentingan, mulai dari regulator hingga praktisi dan akademisi. Pemerintah Indonesia menyampaikan penghargaan atas keterlibatan aktif seluruh peserta dalam mencari solusi.
“Saya harap ini akan menjadi diskusi yang bermanfaat untuk menghasilkan solusi konkret yang dapat ditindaklanjuti dengan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi dalam mengatasi berbagai tantangan global,” pungkasnya.
Simak Juga: Tarif AS untuk RI Sudah Turun dari 32% Jadi 19%, Prabowo akan Tetap Nego




