BIMATA.ID, JAKARTA- Surya Nusantara, ini program usulan Institute for Essential Services Reform (IESR) sebagai pemulihan ekonomi pasca pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Program ini kemudian didukung Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM). Kalau program terealisasi, Gubernur Ganjar Pranowo bersedia jadikan Jawa Tengah sebagai daerah percontohan.
Pandemi COVID-19 memukul kegiatan ekonomi hampir di semua daerah. Di Jawa Tengah, pertumbuhan ekonomi hingga Mei lalu turun, tinggal 2,6%. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengatakan, kondisi ini bisa menyebabkan kemiskinan bertambah.
Pemerintah daerah, kata Ganjar, akan memprioritaskan pembangkitan ekonomi pasca pandemi pada usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di sektor pertanian, perikanan, dan pariwisata.
“Kemandirian energi is a must. Wajib hukumnya. Karena ke depan, COVID-19 memaksa kita untuk membeli yang murah. Semua UMKM ini butuh energi. Kalau ada kebijakan makro, mikro bisa kita dorong,” katanya dalam diskusi daring beberapa waktu lalu.
Sebelumnya, IESR mengusulkan Surya Nusantara sebagai salah satu program pemulihan ekonomi pasca pandemi. Program pemasangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap dengan APBN ini untuk masyarakat miskin dan rentan atau pelanggan PLN yang mendapatkan subsidi.
“Targetnya satu gigawatt peak per tahun, bisa mulai 2021 bisa dilanjutkan hingga lima tahun berikutnya,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.
Dalam Rencana Umum Energi Nasional, target 23% bauran energi terbarukan pada 2025, telah menetapkan target PLTS 6,5 gigawatt.
Mengapa PLTS atap? Menurut Fabby, PLTS atap punya sifat modular yang mudah terpasang dan cepat dengan beragam skala.
Harga sel dan modul surya capital expenditure turun signifikan beberapa tahun terkahir.
“Untuk memasang PLTS atap butuh tenaga kerja yang tidak terlalu tinggi levelnya, cukup terampil. Ini memungkinkan untuk menyerap tenaga kerja sebanyak-banyaknya dari masyarakat yang terdampak PHK,” katanya.
Indonesia, kata Fabby, sudah punya industri modul dan sel surya dengan kapasitas produksi 500 megawatt peak per tahun. Sudah ada juga BUMN yang mampu produksi inverter di dalam negeri. Titik awal program ini bisa dilakukan pada pelanggan PLN rumah tangga 900 VA.
Hitungan IESR, untuk mencapa satu gigawatt peak, jika kebutuhan setiap rumah tangga dengan luas satu meter persegi, maka ada 660.000 rumah yang bisa dipasang PLTS atap. Ada beberapa kelompok sasaran yang bisa jadi target.
Pertama, provinsi dengan jumlah subsidi terbanyak, kedua, provinsi dengan biaya pokok pembangkit (BPP) tertinggi, karena ini bisa menurunkan biaya sistem hingga dapat memberikan manfaat finansial untuk PLN. Ketiga, di atas gedung bangunan pemerintah sesuai amanat rencana umum energi nasional (RUEN), 30% bangunan pemerintah harus terpasang PLTS.
“Kantor-kantor, termasuk sekolah, bisa disinergikan dengan program sejuta rumah Kementerian PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat-red) dan program perumahan lain.”
Dia bilang, perlu sekitar Rp15 triliun APBN dan APBD untuk pendukung utama program ini, namun anggaran bisa kembali ke pemerintah. Sekitar 30% anggaran akan masuk komponen upah yang bisa langsung dibelanjakan pekerja yang terlibat.
Ada juga komponen yang bisa dikenai pajak dalam bentuk Pajak Penghasilan (PPh) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN), juga akan kembali ke pemerintah.
“Yang penting, dana ini tidak hilang. Beda dengan subsidi lain yang ketika dikeluarkan dana lalu tidak jadi apa-apa. Ini ada listriknya bisa dinikmati setidaknya 25 tahun,” katanya.
Untuk itu, beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah, pertama, penyesuaian Permen ESDM No 49/2018 soal penggunaan sistem pembangkit listrik tenaga surya atap untuk akomodasi PLTS atap ini.
Kedua, identifikasi sasaran. Jadi, perlu persetujuan dari pemilik rumah, mestinya tak sulit karena bisa mengurangi tagihan listrik.
Ketiga, melibatkan PLN dan pemerintah daerah di lokasi sasaran dan industri penunjang.
IESR telah simulasi antara rumah 900 VA dengan atau tanpa PLTS atap. Tanpa PLTS atap dengan konsumsi wajar, tagihan satu tahun Rp885,000 dan subsidi setiap tahun Rp1,1 juta per tahun
Dengan 660.000 rumah, subsidi hampir Rp728 miliar per tahun. PLN dapat pembayaran dari listrik Rp590 miliar. Kalau terpasang PLTS atap, dengan konsumsi wajar tagihan listrik normal, nol rupiah.
“Rumah yang dipasang PLTS atap tidak perlu bayar listrik, pemerintah tak perlu bayar subsidi listrik, PLN dapat pendapatan lebih karena ada listrik yang diekspor ke grid, dengan pendapatan Rp1,2 triliun. Program ini win-win solution untuk semua pihak,” katanya. Dia menambahkan, penyerapan tenaga kerja mencapai 78.000 baik langsung maupun tak langsung.
IESR merekomendasikan, PLN sebagai pelaksana program utama bekerja sama dengan BUMN dan industri modul surya untuk pengadaan modul surya. Mekanisme pengadaan kompetitif bisa melibatkan BUMN, Balitbang, Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia dan lembaga pelatihan lain.
Program ini bisa hasilkan beragam manfaat, pertama, ada pengurangan subsidi Rp800 miliar-Rp1,3 triliun dengan tarif saat ini.
Kedua, menyerap banyak tenaga kerja karena pemulihan pasca COVID-19 harus bisa menyerap tenaga kerja besar dalam waktu singkat.
“Ada kesempatan mengintegrasikan kartu pra kerja untuk mendorong pelatihan bagi pekerja untuk instalasi,” katanya.
Ketiga, kontribusi terhadap target RUEN dan bisa ikut menurunkan emisi gas rumah kaca 1,05 juta ton per gigawatt peak pada nationally determined contributions (NDC) dan menumbuhkan industri hijau.
Sujarwanto Dwiatmoko, Kepala Dinas ESDM Jateng, mengatakan, masyarakat senang pengembangan energi surya karena selama ini mereka banyak gunakan matahari untuk keseharian seperti mengeringkan gabah, kayu dan lain-lain.
“Kalau tak ada matahari, besar sekali kebutuhan listrik untuk menggantikan energi surya ini,” katanya.
Dalam peta jalan energi Jateng, penggunaan energi terbarukan masih kecil. Tahun ini, baru 11,69% dari target 21%.
Untuk PLTS, sebelumnya pemprov juga menerbitkan surat edaran implementasi PLTS atap di gedung pemerintahan di Jateng.
Tahun ini, katanya, ada 17 instansi di lingkup Pemprov Jateng menganggarkan pengembangan PLTS atap sebagai bentuk nyata pemanfaatan energi terbarukan.
“Pandemi, berdampak PLTS rooftop terkendala, salah satu karena kenaikan biaya konstruksi akibat kenaikan kurs dolar terhadap rupiah,” katanya.
Pemprov bahkan harus refocusing anggaran pabrik cacing yang pakai PLTS, untuk penanganan COVID-19.
Kalau Surya Nusantara bisa jalan, katanya, akan diutamakan PLTS off grid bagi UMKM yang berproduksi di siang hari seperti makanan, minuman, kerajinan logam, kerajinan kulit, kayu, mebel dan batik.
Juga untuk lembaga pendidikan berasrama seperti pondok pesantren, pompa air pertanian, tambak, dan aerotor pada budidaya ikan serta untuk kapal nelayan.
Untuk PLTS atap on grid didorong melalui investasi bagi kalangan industri manufaktur dan pariwisata, “Saat ini, beberapa industri telah membangun PLTS rooftop seperti pabrik air minum dalam kemasan di Klaten, pabrik garmen di Ungaran dan lain-lain.”
PLTS terpadu dipasang sebagai kawasan industri, akan diberikan kepada swasta antara lain di Pemalang dan Batang.
“Kalau on grid kita kesulitan lamanya menunggu meteran dari PLN, sampai tiga bulan. Maka di-off grid-kan.”
Hariyanto, Direktur Konservasi Energi Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) mengatakan, mulai 2019, PLTS pesat bahkan mencapai dua kali lipat. Namun, katanya, biaya pokok penyediaan (BPP ) masih jadi kendala. “Kami sedang inisiasi untuk perbaikan.”
Untuk mencapai target bauran energi nasional sampai 2025 sebesar 23.758 megawatt, katanya, pemerintah melakukan restructuring dan refocusing terhadap roadmap PLTS. Targetnya, akumulatif pada 2024 jadi 2,2 gigawatt.
Strateginya, kata Hariyanto, pertama dengan PLTS skala besar untuk menurunkan BPP listrik, termasuk pada lokasi lahan bekas tambang atau tambang terlantar dengan lahan konsesi sudah kembali ke pemda. Ini sudah ada di beberapa daerah, seperti 2.700 hektar (2.300 megawatt) di Bangka Belitung, 1.250 megawatt Kutai Barat (1.000 megawatt), dan Kutai Kartanegara 53 megawatt.
Kedua, PLTS terapung 857 megawatt di beberapa waduk di Wonogiri, Sutami, Jatiluhur, Banjarnegara, Saguling, Wonorejo dan Danau Singkarak.
Ketiga, PLTS atap secara masif di daerah-daerah melalui sinergi dengan pemda antara lain melalui program ekowisata dan klaster ekonomi, program Surya Nusantara, bisa masuk dalam kategori ini.
Keempat, juga ada PLTS di daerah terpencil dan terluar serta program hybrid di pulau-pulau kecil. “Kami sangat mendukung program Surya Nusantara karena bisa mengalihkan subsidi listrik untuk penyediaan PLTS atap bagi pelanggan PLN bersubsidi, 450 dan 900 VA sebagai salah satu usulan program recovery pasca COVID-19,” katanya
Menurut dia, program ini bisa menghemat subsidi listrik dalam jangka panjang, mengurangi biaya listrik pelanggan PLN, hemat biaya produksi, menciptakan lapangan kerja baru, mendorong industri surya dalam negeri tumbuh termasuk jasa penunjang, pemanfaatan energi terbarukan naik dan mengurangi emisi gas rumah kaca.
Saat ini, katanya, secara umum kendala pengembangan energi terbarukan pada harga keekonomian wajar, tata kelola pengembangan pembangkit termasuk masalah perizinan, pengadaan lahan, keterbatasan infrastruktur jaringan transmisi dan distribusi listrik PLN. Juga, akses pendanaan murah dan PPA (power purchase agreement) yang tidak bankable.
Langkah pemerintah, kata Hariyanto, dengan membangun aturan main energi terbarukan dengan merevisi peraturan perundang-undangan, kompensasi biaya infrastruktur, biaya eksplorasi dan pemboran ditanggung pemerintah untuk panas bumi, maupun kompensasi biaya eksternal.
Juga menciptakan pasar-pasar energi terbarukan melalui pengembangan ekonomi kerakyatan berbasis pelet dan biomassa dengan memanfaatkan lahan suboptimal dan pengembangan klaster ekonomi maritim.
“Pengembangan model resource based, pengembangan energi terbarukan skala besar seperti pengembangan PLTA untuk smelter nikel sebagai bahan baku baterai.”
Sinergi dengan rencana pembangunan daerah juga ada ekowisata berbasis panas bumi di Labuan Bajo, Flores.
Pengembangan proyek energi Surya Nusantara ini, katanya, bisa melalui sinergi lembaga terkait, BUMN/BUMD dan swasta.
Beberapa program nasional selain Surya Nusantara, kata Hariyanto, yakni untuk daerah yang belum berlistrik, percepatan solar farm, wind farm, PLTA dan PLTP, agro energy untuk percepatan pengembangan bioenergi (biomasa). Juga, program nasional pariwisata bersih dan hijau berbasis energi terbarukan, program nasional klaster ekonomi berbasis sumber daya setempat seperti pengembangan klaster PLTS atau PLT hybrid untuk ekonomi berbasis sumber daya setempat, dan pengembangan PLTS di lahan pertanian dan perikanan. Ada juga, program nasional smart and green building dan smart and green island maupun program nasional sinergi kementerian dan lembaga untuk pengembangan industri terbarukan.
Pemerintah, katanya, menyadari perlu stimulus dan insentif ekonomi meredam dampak pandemi melalui pertumbuhan ekonomi hijau sekaligus inisiasi spekario pembangunan rendah karbon di Indonesia.
“Surya Nusantara akan membentuk klaster industri sel surya yang bisa sinergi dengan PLN, lembaga dan BUMN lain seperti perumnas dan produsen sel surya nasional.”