BIMATA.ID, JAKARTA- Pemuda Tani Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kabupaten Boyolali mengusulkan formulasi baru untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani.
Ukuran kejahteraan itu disebut sangat kompleks dan tidak sekadar membandingkan penerimaan dan pengeluaran petani. Ketua Pemuda Tani HKTI Boyolali, Andy Setyo Wibowo, mengatakan Badan Pusat Statistik (BPS) merilis turunnya Nilai Tukar Petani (NTP) Nasional pada Mei 2020.
Angkat NTP pada bulan tersebut 99,47 atau turun 0,85% dibanding NTP bulan sebelumnya. Penurunan NTP dikarenakan Indeks Harga yang Diterima Petani (It) turun sebesar 0,86%, lebih besar dibanding penurunan Indeks Harga yang Dibayar Petani (Ib) yang turun 0,01%.
Menurut Pemuda Tani HKTI Boyolali, indeks kesejahteraan petani yang dirilis BPS tersebut tidak menggambarkan kondisi sesungguhnya di lapangan.
“Menurut saya, sudah saatnya parameter NTP itu diganti. Itu kan ukuran yang kurang komprehensif. NTP hanya membandingkan faktor apa yang dikeluarkan petani dengan apa yang diterima petani,” kata Andy, Rabu (10/6/2020).
Pemuda Tani HKTI Boyolali mengusulkan agar ada formulasi baru untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani yang lebih adil. Menurut Andy, ada faktor lain yang layak dimasukkan sebagai indeks kesejahteraan petani.
Misalnya aspek kebahagiaan, tingkat produksi, dan kelayakan harga produksi yang didapatkan petani. Untuk itu, dia meminta pemerintah menggandeng perguruan tinggi dan para stakeholder pertanian lainnya untuk membuat terobosan baru rumusan NTP.
“Angka yang sekarang terjadi tidak terlalu signifikan karena hanya ukuran ekonomi. Kalau unsur lain-lain itu dimasukkan, bukan sekadar soal pendapatan. Menurut saya NTP kita berada di angka 102 sampai 105,” lanjut dia.
Andy mengatakan justru selama tiga bulan terakhir di masa pandemi Covid-19, performa pertanian masih memperlihatkan keadaan yang positif. Dia menilai pertanian masih bisa menyumbangkan produksi yang cukup penting untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.
“Cerminannya adalah tidak adanya krisis pangan di saat masyarakat menghadapi hari-hari besar keagamaan yang membutuhkan pasokan pangan yang tinggi. Pasokan terpelihara, harga relatif stabil walau ada beberapa komoditas yang mengalami lonjakan-lonjakan sesaat,” kata dia.
Pemuda Tani HKTI Boyolali menilai keberhasilan produksi ini menurut data BPS tidak meningkatkan kesejahteraan petani. Hal itu berarti ada yang salah.
Di sisi lain dia mengatakan masa pandemi Covid-19 memang memberikan dampak terhadap transportasi dan distribusi pangan yang tidak baik. Namun demikian, justru faktor tersebut hendaknya dinilai sebagai faktor lain yang memengaruhi sektor pertanian nasional.
Menurutnya hal tersebut juga menjadi alasan kuat urusan pertanian tidak bisa ditangani Kementerian Pertanian semata, melainkan multisektor. Kementerian Pertanian dinilainya sudah serius menangani sektor produksi.
Namun, dia mengatakan jika kementerian lainnya tidak serius terlibat aktif untuk meningkatkan kesejahteraan petani, nasib petani nasional hanya akan jalan di tempat.
“Pertanian itu urusan multisektor. Dari hulu ke hilir, produksi sampai konsumsi. Tidak bisa Kementan sekarang hanya soal kementerian bercocok tanam lagi. Tanggung jawab kesejahteraan petani urusan semua pihak. Makanya harus ada Badan Pangan Nasional yang merupakan amanat undang-undang,” kata Andy.
sumber:solopos.com