
BIMATA.ID, Purworejo – Anggota DPR RI Komisi II Dapil Jawa Tengah VI, Azis Subekti, mengingatkan bahwa tantangan terbesar demokrasi Indonesia hari ini bukan lagi sekadar perang informasi, melainkan sudah masuk pada level perang kognitif. Hal itu disampaikannya saat menjadi pemateri dalam kegiatan Pembinaan dan Penguatan Kelembagaan Bawaslu Kabupaten Purworejo, Sabtu (13/9/2025).
Acara tersebut juga dihadiri Anggota KPU RI Yulianto Sudrajat, Direktur Jimly School of Law and Government Muh. Muslih, Anggota Bawaslu Provinsi Jawa Tengah Nur Kholiq, serta Ketua Bawaslu Purworejo Purnomosidi.
Azis menyoroti fenomena masyarakat yang lebih banyak mengonsumsi konten singkat (shorts) di media sosial ketimbang mengikuti proses informasi yang panjang.
Baca juga: Tiba di Bali, Prabowo Kunjungi Lokasi Bencana Banjir
“Kita ini information warfare dan cognitive warfare itu berada pada zaman yang sama. Kita belum siap dengan perang informasi, sudah datang namanya perang kognitif. Ini yang kita hadapi,” ujar Azis.
Ia menilai, pola konsumsi digital masyarakat telah mengubah cara berpikir dan membahayakan kualitas demokrasi.
“YouTube itu dalam titik tertentu dia adalah proxy untuk menghancurkan kita. Itu perang asimetris. Shot itu membuat manusia tidak mau melihat dari awal sampai terakhir, tidak mau ikut dalam proses berpikir. Sehingga orang yang sering melihat shot, nggak mau lihat video 40 menit, pikirannya jadi terhenti,” tegasnya.
Lihat juga: Komitmen Transparansi, Prabowo Siapkan Dua Komisi Baru untuk Hukum dan Demokrasi
Azis mengingatkan, kondisi ini berdampak langsung pada kualitas masyarakat sebagai peserta demokrasi.
“Kalau masyarakatnya rusak, mau pengawasan kayak apa, mati kita. Nggak ada kita, nggak ada demokrasi kalau masyarakatnya sudah dirusak,” katanya.
Menurutnya, perang kognitif inilah yang menuntut lembaga pengawas pemilu seperti Bawaslu untuk beradaptasi, tidak hanya dalam aspek pengawasan prosedural, tetapi juga dalam memahami dinamika informasi yang mempengaruhi perilaku publik.
Azis juga tekankan bahwa Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus mengalami transformasi mendasar dalam menjalankan perannya. Menurutnya, Bawaslu tidak boleh hanya terjebak pada fungsi pengawasan prosedural, melainkan harus berkembang menjadi learning organization atau lembaga pembelajar yang mampu mencerdaskan masyarakat politik.
“Bawaslu jangan memperbanyak pengawas, tapi mengurangi pelanggaran dengan mendidik masyarakat dan partai politik. Bawaslu harus menjadi learning organization, organisasi pembelajar, bukan sekadar lembaga pengawas.” tuturnya.




