
BIMATA.ID, Jakarta — Pakar Kebijakan Publik Trubus Rahardiansah mengatakan Wacana menghentikan prgram Makan Bergizi Gratis (MBG) secara menyeluruh di nilai bukanlah keputusan bijak dan tepat. Menurutnya, program unggulan itu memilik manfaat yang besar, terutama untuk anak-anak dan pekerja yang bergantung pada akses program MBG untuk bertahan hidup.
“Menghentikan program secara menyeluruh akan menjadi langkah mundur yang merugikan jutaan anak dan keluarga yang telah bergantung pada akses gizi dari program ini,” tegasnya, Senin (22/9).
Ia mengakui program MBG memiliki kekurangan karena masih tahap awal. Tapi, tak sedikit memberikan dampak besar bagi masyarakat.
“Banyak unit SPPG yang sudah sesuai dengan standar dan menyajikan makanan yang layak, bergizi, dan disukai anak,” lanjutnya.
Trubus juga mengatakan prgram MBG ini, merupakan salah satu program yang sangat berdampak secara sosial dan dirasakan masyarakat luas.
“Saya melihat program MBG merupakan salah satu intervensi sosial paling progresif yang pernah dilakukan pemerintah,” ungkapnya.
“Tujuannya bukan sekadar memberikan makanan gratis, melainkan menjamin hak dasar warga negara atas gizi yang layak, sebuah investasi jangka panjang pada kualitas sumber daya manusia Indonesia, ini sama saja dengan menghilangkan akses pangan bergizi bagi jutaan anak dan keluarga yang membutuhkan,” tambahnya.
Trubus menekankan kasus keracunan MBG yang belakangan ini terjadi harus segera dievaluasi, agar program strategis ini berjalan sesuai harapan.
“Benar, bahwa kasus keracunan makanan di beberapa daerah adalah sinyal serius tentang lemahnya kontrol kualitas dan keamanan pangan di sebagian unit pelaksana. Ini tidak bisa diabaikan,” ujarnya.
Sebagai langkah evaluasi dan antisipasi, Trubus mengatakan kedepan pemerintah harus lebih meningkatkan pengawasan terhadap unit SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) dan memastikan keamanan makanan yang disediakan untuk anak-anak.
“Solusi yang lebih konstruktif adalah mengidentifikasi unit-unit SPPG yang standar keamanan dan higienitas makanannya belum memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh BGN (Badan Gizi Nasional). Unit-unit inilah yang seharusnya dihentikan sementara untuk menjalani perbaikan intensif dalam hal penanganan makanan,” tuturnya.
“Pendekatan ini memastikan kontinuitas program bagi masyarakat dan perbaikan yang terukur di lapangan. Dengan pendekatan ini, program MBG dapat terus berjalan sambil melakukan perbaikan secara bertahap pada aspek keamanan pangan,” lanjutnya.
Menurutnya, dengan pendekatan tersebut akan memberikan kesempatan SPPG untuk melakukan perbaikan tanpa harus menghentikan program MBG secara keseluruhan.
“Hal ini lebih adil bagi masyarakat yang sudah merasakan manfaat dari program ini dan juga memberikan kesempatan bagi unit yang belum memenuhi standar untuk berbenah tanpa mengorbankan keseluruhan program,” tegasnya.
“Perbaikan yang terfokus pada aspek keamanan pangan dan terukur diyakini akan lebih efektif dalam jangka panjang dibandingkan penghentian total yang bersifat reaktif terhadap kasus keracunan yang terjadi,” tambahnya.
Trubus juga mengungkapkan program MBG ini, sebagai komitmen pemerintah dalam membangun sumber daya manusia unggul, tanpa terkecuali, berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk mendapatkan gizi seimbang yang menjadi fondasi penting bagi tumbuh kembang anak-anak Indonesia.
“Program MBG adalah salah satu pilar kebijakan sosial era pemerintahan saat ini. Menghentikannya secara menyeluruh hanya karena sejumlah insiden akan menjadi preseden buruk bagi desain kebijakan publik di masa depan, seolah pemerintah mudah mundur ketika menghadapi masalah,” katanya.
Trubus optimis pemerintah kedepannya dapat memperbaiki dan memperkuat legitimasi dari program MBG tersebut. “Sebaliknya, perbaikan terfokus, pengawasan ketat, dan komunikasi publik yang transparan akan memperkuat legitimasi program ini sekaligus menjaga kepercayaan masyarakat,” tutupnya. Pandu/MAn




