OpiniBeritaNasionalPeristiwaUmum

Luka yang Harus Menjadi Pelajaran Bersama

BIMATA.ID, Jakarta- Hari ini, jalanan yang mestinya hanya menjadi ruang pertemuan suara rakyat dan penjaga ketertiban, berubah menjadi tempat duka. Seorang pengemudi ojek online meregang nyawa setelah terlindas kendaraan aparat, sementara sejumlah polisi juga jatuh sakit dan terluka parah akibat benturan dengan massa. Tragedi ini menyisakan pilu yang dalam, bukan hanya bagi keluarga korban, tetapi juga bagi seluruh bangsa yang mendambakan keadilan dan ketenteraman.

Di tengah suasana penuh amarah, kita mudah sekali terjebak dalam gelombang dendam. Suara-suara mengecam Polri menggema di jalanan dan media sosial. Ada yang merasa rakyat kembali menjadi korban, ada pula yang menilai aparat kembali disalahkan tanpa melihat luka mereka sendiri. Inilah titik rawan yang bisa membuat bangsa ini terpecah bila kita tidak segera menahan diri.

Menatap Luka dengan Kepala Dingin

Kita harus berani melihat bahwa tragedi ini adalah luka bersama. Tidak ada pihak yang sepenuhnya menang, karena pada akhirnya semua sama-sama kehilangan. Seorang anak bangsa meregang nyawa, sementara para aparat yang mestinya mengayomi justru ikut menjadi korban luka. Bila dendam yang kita pilih, maka esok bisa jadi lebih banyak darah yang tumpah.

Inilah saatnya bangsa ini menatap luka dengan kepala dingin. Keadilan harus ditegakkan, proses hukum harus transparan, dan tanggung jawab negara tidak boleh luntur. Polri punya kewajiban untuk menunjukkan sikap terbuka dan berani mengevaluasi setiap prosedur yang keliru. Di sisi lain, masyarakat juga perlu percaya bahwa aspirasi bisa terus diperjuangkan tanpa harus menambah korban.

Solidaritas: Menguatkan, Bukan Memecah

Korban sipil dan korban aparat sama-sama meninggalkan cerita duka. Keluarga driver ojol kehilangan tulang punggung, sementara keluarga aparat cemas melihat orang yang mereka cintai harus dirawat dengan luka serius. Kita, sebagai sesama rakyat, tidak boleh membiarkan perbedaan seragam memecah empati.

Solidaritas justru harus tumbuh lebih kuat. Kita bisa menuntut keadilan bagi korban tanpa membenci secara membabi buta. Kita bisa mendesak transparansi tanpa harus menambah bara. Dan kita bisa bersuara lantang tanpa menutup ruang untuk berdamai.

Belajar dari Tragedi

Sejarah bangsa ini sudah berkali-kali memberi kita pelajaran: kekerasan hanya melahirkan kekerasan baru. Demonstrasi yang bermula dari suara hati rakyat bisa kehilangan makna bila berubah menjadi arena dendam. Begitu juga aparat, pengayoman akan kehilangan martabat bila melukai mereka yang harusnya dilindungi.

Karenanya, mari kita belajar dari tragedi hari ini. Jangan biarkan darah yang tumpah menjadi bahan bakar kebencian, tetapi jadikan ia pengingat betapa mahalnya nilai kemanusiaan. Rakyat butuh ruang untuk didengar, aparat butuh ruang untuk dihargai, dan keduanya hanya bisa bertemu dalam iklim kepercayaan.

Jalan Pulang Menuju Damai

Setiap bangsa besar diuji bukan saat ia sedang jaya, tetapi ketika menghadapi luka. Ujian kita hari ini adalah menahan diri agar tragedi tidak menjadi permusuhan panjang. Kita harus memilih jalan pulang menuju damai, karena bangsa ini hanya akan kuat bila rakyat dan aparat kembali berdiri di sisi yang sama saling menjaga, bukan saling melukai.

Indonesia terlalu berharga untuk terus dipertaruhkan dalam lingkaran dendam. Mari kita rawat luka ini dengan sabar, kita tegakkan keadilan dengan jernih, dan kita lanjutkan perjuangan dengan damai.

” _Darah yang tumpah hari ini bukan untuk menumbuhkan dendam, melainkan untuk mengingatkan kita betapa rapuhnya hidup dan betapa pentingnya damai. Mari kita hentikan lingkaran amarah, sebab bangsa ini hanya akan tumbuh besar bila rakyat dan aparat kembali berjalan bersama, menjaga Indonesia dengan hati, bukan dengan kebencian.”_

Penulis: Andi Syahwalil Akbar

Related Articles

Bimata