
BIMATA.ID, Jambi – Wakil Menteri Koperasi dan UKM Ferry Juliantono menegaskan bahwa pembangunan reforma agraria tidak bisa dilepaskan dari penguatan ekonomi rakyat. Hal ini ia sampaikan dalam Kongres V Serikat Petani Indonesia (SPI) yang berlangsung di Jambi, Selasa (22/7). “Dan kita tidak bisa bicara ekonomi rakyat tanpa koperasi. Maka, kebangkitan koperasi saat ini untuk reforma agraria,” ucap Ferry di hadapan para peserta kongres.
Acara tersebut dihadiri oleh berbagai tokoh penting, di antaranya Wakil Gubernur Jambi Abdullah Sani, Ketua Umum SPI Henry Saragih, serta perwakilan dari Kementerian Kehutanan dan Kementerian Pertanian. Hadir pula aktivis agraria, tokoh masyarakat, dan para petani yang tergabung dalam SPI.
Ferry menyampaikan bahwa kemitraan antara Koperasi Desa/Kelurahan (Kopdes/Kel) Merah Putih dan koperasi petani yang telah dibentuk oleh SPI bisa menjadi fondasi bagi terciptanya sistem ekonomi pangan nasional yang kuat dan mandiri. “Jadi, Kopdes/Kel Merah Putih bukanlah pengganti koperasi petani, tetapi justru sebagai penguat ekosistem usahanya,” jelasnya.
Sebagai Koordinator Ketua Pelaksana Harian Satgas Percepatan Pembentukan Kopdes/Kel Merah Putih, Ferry mendorong SPI agar membentuk koperasi petani yang mampu menjalankan hilirisasi produksi. Menurutnya, petani harus naik kelas, tidak hanya menjual hasil panen, tapi juga mengelola hingga mendistribusikan secara kolektif. “Peluncuran secara resmi Kopdes/Kel Merah Putih oleh Presiden RI di Klaten bukan hanya menandai dimulainya sebuah program, tetapi merupakan titik balik sebuah tonggak kebangkitan kedaulatan desa,” kata Ferry.
Ia menambahkan, kongres ini bukan hanya ajang berkumpul organisasi petani, tapi juga momen penting untuk konsolidasi gerakan rakyat. “Menjadi tonggak penting konsolidasi gerakan rakyat untuk merebut kembali ruang hidup, mewujudkan distribusi tanah yang adil, serta membangun sistem pangan yang berdaulat,” tuturnya.
Ferry mengungkapkan, persoalan ketimpangan agraria dan akses pangan masih menjadi tantangan utama di Indonesia. Banyak petani belum memiliki lahan secara adil, sementara distribusi dan harga dikuasai oleh segelintir pemain besar. “Ironisnya, desa sebagai produsen utama belum berdaulat atas hasilnya sendiri,” ujarnya.
Dalam situasi seperti ini, lanjutnya, Kopdes/Kel Merah Putih menjadi instrumen penting untuk mengembalikan kontrol ekonomi ke tangan masyarakat desa. “Maka, Kopdes/Kel kita dorong untuk tidak hanya menjadi wadah usaha, melainkan alat transformasi rantai nilai,” imbuh Ferry.
Wamenkop menjelaskan bahwa melalui Kopdes/Kel Merah Putih, distribusi pupuk subsidi bisa dipangkas dari rantai pasok yang panjang dan mahal. “Melalui rantai yang lebih pendek dan terkontrol, harga pupuk menjadi lebih murah, biaya produksi turun, dan petani mendapatkan margin yang lebih besar. Inilah bentuk nyata kedaulatan ekonomi petani,” tandasnya.
Ia menutup dengan menekankan pentingnya memutus ketergantungan petani pada tengkulak dengan membangun kemitraan lokal. “Kopdes/Kel Merah Putih juga bisa bermitra dengan unit penggilingan padi di tingkat desa, agar petani tak lagi bergantung pada tengkulak. Inilah agenda besar kita, yaitu mengembalikan nilai tambah ke tangan produsen, yakni petani,” pungkasnya.
Simak Juga: Logo HUT RI ke-80, Prabowo Simbolkan Persatuan Abadi untuk Indonesia Maju




