Negosiasi Sunyi di Tengah Badai Tarif

BIMATA.ID, Jakarta- Dalam lanskap geopolitik global yang semakin bergejolak, langkah Indonesia menyepakati tarif nol persen untuk produk-produk asal Amerika Serikat terdengar ganjil, bahkan memancing kritik. Di saat negara-negara lain mengambil posisi protektif, mengapa Indonesia justru membuka pintu lebih lebar?

Namun keputusan ini bukan sekadar gestur politik dagang yang lunak. Ia adalah pembacaan cermat atas dinamika kekuatan global yang tengah berubah cepat. Pemerintahan Prabowo tampaknya menyadari bahwa kekerasan bukan satu-satunya bentuk ketegasan, dan dalam banyak hal, justru bisa menjadi jebakan bagi negara berkembang seperti Indonesia.

BACA JUGA: Mantan Tim Mawar: Tak Ada yang Bisa Tekan Prabowo, Termasuk Elite Berpengaruh

Amerika kini berada dalam posisi defensif terhadap hegemoni dagang Tiongkok. Dalam skenario ini, Indonesia bisa saja terbawa arus benturan dua kekuatan besar, atau justru memainkan posisi strategis sebagai mitra dagang yang dipercaya oleh keduanya. Prabowo memilih jalan kedua: memosisikan Indonesia sebagai titik temu, bukan titik benturan.

Konsesi tarif nol bukanlah kekalahan, melainkan strategi untuk menjaga ketahanan ekonomi dalam jangka pendek dan membuka peluang jangka menengah. Langkah ini menahan gejolak inflasi impor, menjaga keterhubungan rantai pasok, dan — yang terpenting — menjaga kepercayaan investor terhadap arah kebijakan ekonomi nasional.

Lebih jauh, ada potensi yang bisa dimanfaatkan. Saat negara-negara tetangga di ASEAN mulai memperketat kebijakan tarif atau membatasi impor strategis, Indonesia justru tampil sebagai pasar terbuka yang kompetitif. Dalam konteks ini, daya saing tarif kita menjadi sinyal kuat bagi investor global, terutama dari Asia Timur, untuk mempertimbangkan Indonesia sebagai basis produksi yang efisien — baik untuk pasar domestik maupun ekspor ke negara-negara besar seperti Amerika.

BACA JUGA: Garuda Bangkit, Ekspor RI Melaju: Presiden Prabowo Lindungi Pekerja

Potensi ini harus dijemput dengan kesiapan infrastruktur investasi yang nyata: penyederhanaan perizinan, insentif fiskal yang terarah, dan kepastian hukum yang tidak berubah-ubah. Bila itu mampu dijalankan, keputusan hari ini akan dipahami bukan sebagai konsesi, melainkan fondasi dari loncatan industrialisasi yang lebih substansial.

Dalam politik dagang modern, negosiasi bukan lagi soal siapa paling lantang, tetapi siapa yang paling cermat membaca arah angin. Dan kadang, justru dalam diam dan kompromi itulah sebuah bangsa menyiapkan langkah besar berikutnya.

Exit mobile version