
BIMATA.ID, Jakarta – Presiden AS Donald Trump secara resmi mengumumkan bahwa Amerika Serikat telah mencapai kesepakatan dagang dengan Indonesia. Pengumuman ini disampaikan pada 15 Juli 2025, setelah pembicaraan langsung antara Trump dan Presiden RI Prabowo Subianto. Salah satu poin utama dalam perjanjian tersebut adalah penetapan tarif baru untuk produk asal Indonesia sebesar 19 persen, turun dari sebelumnya 32 persen.
Keputusan ini menjadikan Indonesia sebagai negara ASEAN dengan tarif ekspor terendah ke AS saat ini. Sebagai perbandingan, Vietnam dikenakan tarif 20 persen, Malaysia 25 persen, dan Thailand bahkan mencapai 36 persen. Dengan posisi ini, produk-produk ekspor unggulan Indonesia—seperti mesin elektronik, alas kaki, dan pakaian—memiliki peluang lebih besar untuk bersaing di pasar Amerika.
Dalam kesepakatan tersebut, Trump juga menyebutkan bahwa Indonesia akan diberikan tarif 0 persen untuk ekspor tembaga olahan ke AS, menjadikan Indonesia lebih unggul dibandingkan pemasok utama lain seperti Chili dan Kanada yang berpotensi dikenakan tarif 50 persen per 1 Agustus 2025. Sepanjang 2024, ekspor tembaga Indonesia ke AS masih tergolong kecil, sekitar 20 juta dolar AS, namun dengan kebijakan baru ini nilainya diprediksi meningkat.
Baca Juga: Presiden Prabowo Tuntaskan Kunjungan Global, Pulang Bawa Terobosan Diplomatik dan Ekonomi
Namun di balik peluang ekspor yang terbuka, kesepakatan ini juga memunculkan konsekuensi ekonomi. Indonesia sepakat membeli komoditas asal AS seperti migas senilai 15 miliar dolar AS, produk pertanian sebesar 4,5 miliar dolar AS, serta 50 unit pesawat jet Boeing. Hal ini menandakan potensi lonjakan impor dari Amerika ke Indonesia dalam waktu dekat.
Kondisi ini bisa berdampak pada industri domestik karena produk-produk impor AS masuk dengan tarif 0 persen. Barang-barang dengan struktur biaya tinggi dari AS bisa menjadi lebih terjangkau, sehingga memperketat persaingan bagi pelaku usaha lokal. “Jika tidak diantisipasi, risiko membanjirnya produk impor bisa menekan permintaan terhadap barang dalam negeri,” kata seorang analis ekonomi.
Efek lain yang perlu dicermati adalah potensi perubahan sikap dagang China, mitra utama ekspor-impor Indonesia. Saat ini, China menyerap sekitar 25 persen ekspor Indonesia, jauh lebih besar dibanding AS yang hanya 8 persen. Bila China memberlakukan kebijakan balasan terhadap negara-negara yang bekerja sama lebih erat dengan AS, perdagangan Indonesia bisa terkena imbas.
Dari sisi pasar saham, efek kesepakatan tarif ini dinilai bersifat sementara. Saham-saham yang berpotensi diuntungkan dalam jangka pendek antara lain emiten teknologi dan ritel seperti MTDL, ERAA, ERAL, MAPI, dan MAPA, yang bergerak dalam distribusi barang impor. Sektor peternakan seperti CPIN, JPFA, dan MAIN juga berpotensi mendapat dampak positif dari pembelian produk pertanian AS. Sementara itu, emiten gas seperti PGAS diprediksi netral, karena lebih berperan sebagai pembeli dibanding penjual energi
Perjanjian dagang antara Trump dan Prabowo memberi peluang bagi produk ekspor Indonesia, khususnya tembaga, untuk menembus pasar AS dengan daya saing lebih tinggi. Namun, imbal balik berupa peningkatan impor dari AS berisiko menekan sektor industri dalam negeri. Pasar saham menyambut positif dalam jangka pendek, tapi fundamental jangka menengah tetap menjadi penentu utama.
Simak Juga: Setyoko Turun ke Warga: Sampah dan Banjir Jadi Sorotan di Jaksel




