BIMATA.ID, Ramallah – Komisi Urusan Tahanan dan Mantan Tahanan Palestina bersama Perkumpulan Tahanan Palestina (PPS) mengungkapkan bahwa jumlah warga Palestina yang ditahan secara administratif oleh otoritas Israel telah mencapai setidaknya 3.600 orang hingga awal Juli 2025.
Penahanan ini dilakukan tanpa melalui proses pengadilan dan mencakup perempuan maupun anak-anak.
Dalam pernyataan resmi yang dirilis Selasa (22/7), kedua lembaga itu menegaskan kekhawatiran mereka terhadap meningkatnya praktik penahanan administratif yang dilakukan Israel, yang dinilai sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia.
Penahanan administratif memungkinkan otoritas Israel menahan seseorang tanpa dakwaan dan sidang, dengan periode yang dapat diperpanjang secara berkala.
Pada hari yang sama, Israel kembali mengeluarkan 25 perintah penahanan administratif terhadap warga Palestina.
Masa penahanan tersebut berkisar antara tiga hingga enam bulan, namun bisa diperpanjang tanpa batas waktu dengan alasan keamanan, berdasarkan informasi rahasia yang bahkan tak bisa diakses oleh pengacara tahanan.
Praktik ini kerap dikritik komunitas internasional karena dinilai melanggar prinsip keadilan dasar dan memperkuat sistem represi terhadap rakyat Palestina.
Banyak dari mereka yang ditahan mengaku tidak mengetahui alasan penahanan mereka dan tidak memiliki kesempatan untuk membela diri.
Menurut organisasi HAM Israel, B’Tselem, kebijakan ini tidak hanya melanggar hukum internasional, tetapi juga dilakukan secara sistematis untuk membungkam perlawanan dan suara-suara oposisi dari warga Palestina.
“Israel melaksanakan penahanan administratif dengan cara terselubung, mencegah pembelaan hukum yang layak bagi para tahanan,” tegas B’Tselem.
Dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan penahanan administratif oleh Israel meningkat tajam seiring meningkatnya ketegangan di wilayah pendudukan.
Aktivis, jurnalis, mahasiswa, hingga anak di bawah umur menjadi sasaran, menciptakan ketakutan dan trauma yang mendalam di komunitas Palestina.
Desakan agar Israel mengakhiri praktik ini terus disuarakan oleh lembaga-lembaga HAM internasional, termasuk Amnesty International dan Human Rights Watch, yang menuntut agar semua tahanan diberi hak atas proses hukum yang adil dan transparan sesuai standar hukum internasional.
