NasionalBeritaHukumPeristiwaPolitikUmum

Fraksi Gerindra Soroti Putusan MK, Heri Gunawan Tegaskan Wewenang DPR Dilangkahi

BIMATA.ID, Jakarta – Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Gerindra, Heri Gunawan, menilai bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan jadwal antara pemilu nasional dan pemilu daerah perlu dikaji secara menyeluruh. Ia mengingatkan agar kebijakan tersebut tidak melenceng dari ketentuan konstitusi yang berlaku.

“Segala aspek dari putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 itu harus dikaji dengan matang. Keputusan tersebut memang bersifat final, tetapi tetap harus sesuai dengan UUD 1945,” ujar Heri, Rabu (2/7/2025).

Heri menilai ada hal positif yang bisa diambil dari keputusan MK, seperti membuka peluang bagi konsolidasi demokrasi di daerah dan meningkatnya partisipasi pemilih. “Putusan MK ini mempertimbangkan tantangan yang muncul di pemilu serentak 2024. Namun di sisi lain, ada aspek yang bisa memicu pelanggaran terhadap konstitusi dan melewati batas kewenangan MK,” ungkapnya.

Ia menyebut, salah satu keunggulan dari pemisahan pemilu adalah memungkinkan isu-isu daerah tampil lebih menonjol dalam pemilihan lokal. “Selama ini, wacana lokal sering tertutup oleh isu nasional. Padahal, pemilih seharusnya bisa fokus menilai calon legislatif daerah berdasarkan kepentingan lokal mereka,” jelas Heri, yang juga Ketua DPP Partai Gerindra.

Manfaat lain yang ia paparkan adalah adanya peluang untuk meningkatkan partisipasi pemilih dalam pilkada. “Dalam pemilu serentak 2024, partisipasi pemilih untuk legislatif dan pilpres mencapai 81 persen, tetapi untuk pilkada hanya 71 persen. Ini menunjukkan ada kejenuhan publik karena jarak pemilu yang terlalu dekat,” jelasnya.

Menurut Heri, pemisahan waktu pemilu akan memberi ruang lebih bagi penyelenggara untuk mempersiapkan proses secara maksimal. “Ini bisa memperbaiki akurasi daftar pemilih dan mencegah persoalan teknis yang sering terjadi,” tambahnya.

Baca Juga: Prabowo dan MBS Sepakat Perkuat Dukungan Kemanusiaan untuk Gaza, Komitmen Jaga Keamanan Global

Namun, Heri juga mengingatkan akan dampak negatif dari putusan tersebut. Ia khawatir munculnya fenomena “petualang politik”, yaitu caleg nasional yang gagal namun kembali mencalonkan diri di daerah. “Jika politisi pusat turun ke daerah, bisa saja kesempatan anak-anak daerah untuk menjadi anggota DPRD jadi menyempit,” ujar Heri.

Ia juga menyinggung potensi pelanggaran konstitusi dalam putusan MK ini. Heri merujuk Pasal 22E Ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang menyebut bahwa pemilu harus dilaksanakan setiap lima tahun sekali dan secara serentak untuk memilih DPR, DPD, Presiden, dan DPRD.

Lebih lanjut, Heri memperingatkan bahwa jadwal yang tidak sinkron dapat memperpanjang masa jabatan anggota DPRD lebih dari lima tahun. “Berbeda dengan kepala daerah yang bisa diganti oleh penjabat (Pj), menggantikan 17 ribu lebih anggota DPRD tentu sangat tidak mudah,” ujarnya.

“Perpanjangan masa jabatan DPRD bisa menyebabkan krisis konstitusional. Bukannya menyelesaikan masalah, justru bisa menciptakan pelanggaran baru terhadap UUD 1945,” lanjut Heri.

Ia juga berpendapat bahwa pemisahan jadwal pemilu antara pusat dan daerah dapat menabrak asas satu rezim pemilu sebagaimana dijelaskan dalam pasal 22E dan juga Putusan MK sebelumnya. “DPRD dan kepala daerah tetap bagian dari satu sistem pemilu. Jadi pemisahannya bisa menciptakan dualisme dalam pelaksanaan,” tegas Heri.

Selain itu, ia menilai bahwa Mahkamah Konstitusi telah keluar dari batas wewenangnya. “Putusan MK ini sudah masuk ke ranah open legal policy, yang seharusnya menjadi kewenangan DPR dan Presiden,” kata Heri.

Ia menekankan bahwa berdasarkan Pasal 5 dan 20 UUD NRI 1945, tugas membentuk atau mengubah norma hukum adalah tanggung jawab legislatif, bukan yudikatif. “Kita harus jaga agar MK tetap berada pada koridornya sebagai penguji UU, bukan sebagai pembuat norma baru,” pungkas Heri.

Simak juga: Didukung Presiden Prabowo, Pemerintah Kebut Skema Pembiayaan Rumah Rakyat

Related Articles

Bimata