Bukan Sekadar Seremoni: Saatnya Koperasi Jadi Tulang Punggung Ekonomi Rakyat

BIMATA.ID, Jakarta – Bulan Juli kembali datang dengan berbagai seremoni koperasi. Namun di tengah riuhnya peringatan ini, pemerintah membawa gagasan besar: membentuk 80 ribu unit Koperasi Desa Merah Putih. Gagasan ini lahir dengan niat mulia—membangkitkan ekonomi desa, menghindarkan warga dari jeratan rentenir, dan menumbuhkan kemandirian produksi dari bawah.

Masalahnya, koperasi bukan sekadar lembaga yang bisa didirikan begitu saja melalui SK dan niat baik. Ia adalah organisme sosial-ekonomi yang hidup dan tumbuh lewat waktu, kepercayaan, dan ketekunan. Membentuk koperasi baru dalam jumlah masif bukan tanpa resiko. Sebab, tanpa SDM yang matang, tanpa model bisnis yang relevan, dan tanpa tradisi manajerial yang kuat, koperasi hanya akan menjadi papan nama di kantor desa.

Kita terlalu sering mengulangi kesalahan: membangun dari nol ketika yang ada justru menanti untuk disokong. Ada ratusan bahkan ribuan koperasi yang telah terbukti hidup, meski berjalan dalam diam. Mereka mengelola simpan-pinjam, sektor pertanian, jasa, atau bahkan energi lokal dengan mekanisme internal yang mapan. Mestinya, pemerintah mulai dari situ: lakukan kurasi, pilih yang kuat, beri intervensi untuk melakukan lompatan. Bantu mereka naik kelas, buka akses ke teknologi dan pasar, perkuat kelembagaan. Membangun koperasi bukan soal kuantitas, tapi kualitas.

Baca juga: Presiden Prabowo Wanti-wanti Pihak Rakus ’Serakahnomics’: Tunggu Tanggal Mainnya!

Lebih jauh, pertanyaan penting harus mulai dirumuskan ulang: mengapa koperasi hanya diposisikan sebagai pelengkap, bukan tulang punggung? Bukankah konstitusi menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara? Dan bila negara ingin benar-benar berpihak pada rakyat, mengapa tidak membuka peluang bahwa cabang-cabang produksi itu dikelola secara demokratis oleh koperasi rakyat?

Bayangkan jika sektor energi seperti PLN diposisikan sebagai koperasi nasional. Setiap pelanggan adalah anggota. Setiap keuntungan kembali ke rakyat. Orientasinya tak melulu laba, tetapi efisiensi, keadilan, dan kedaulatan energi. Sistem distribusi tak semata mengikuti logika bisnis, tetapi juga pertimbangan keberlanjutan dan pemerataan.

Atau tambang—salah satu sektor paling timpang dalam tata kelola sumber daya. Bila dikelola oleh koperasi rakyat yang anggotanya adalah masyarakat setempat, akan muncul kesadaran ekologis yang tumbuh dari bawah. Tak ada lagi konflik agraria atau kerusakan lingkungan demi kepentingan segelintir. Justru akan tumbuh rasa memiliki, distribusi hasil yang lebih adil, dan nilai tambah yang menetap di wilayah penghasil.

Lihat juga: “Masuk PSI atau Gerindra?”: Sentilan Prabowo kepada Budi Arie di Kongres

Tentu saja semua ini mensyaratkan keberanian. Keberanian untuk mengubah regulasi, menata ulang arah pembangunan, dan meletakkan rakyat sebagai subjek ekonomi, bukan sekadar target program. Koperasi yang kuat hanya akan lahir dari dukungan sistemik: insentif fiskal, jaminan pasar, serta ekosistem regulasi yang memihak.

Bulan koperasi tahun ini mestinya tidak hanya menjadi peringatan atas sejarah, tapi ajakan untuk membayangkan ulang masa depan. Masa depan di mana koperasi bukan sekadar slogan, melainkan sistem ekonomi yang bekerja. Di mana desa bukan sekadar objek, melainkan penggerak. Di mana rakyat tak hanya dibina, tetapi diberi kuasa untuk mengelola.

Koperasi Merah Putih bisa menjadi simbol dari cita-cita besar itu. Tapi ia tak boleh berhenti di seremoni atau peresmian. Ia harus hidup sebagai sistem yang menjamin keadilan ekonomi, distribusi kekayaan, dan solidaritas sosial. Dan untuk itu, kita butuh lebih dari sekadar membentuk—kita harus memupuk, merawat, dan mempercayai rakyat.

Simak juga: Negara Tak Pernah Lengah: Prabowo dan Sugiono Lindungi Tumpah Darah Indonesia

Exit mobile version