Saat Dunia Diambang Bahaya, Akal Sehat Harus Menjadi Senjata

BIMATA.ID, Jakarta – Konflik bersenjata antara Israel dan Iran dalam beberapa hari terakhir membuat dunia menahan napas. Serangan udara ke fasilitas militer, rudal yang menghujani kota-kota, dan korban sipil yang terus bertambah — semua jadi sinyal alarm.
Tapi yang paling mengkhawatirkan: keduanya berada di wilayah abu-abu kepemilikan senjata nuklir. Satu langkah keliru, dan dunia bisa menyaksikan bencana yang tak bisa diulang.
Si Kuat Boleh, yang Lain Tidak
• AS & Rusia pegang ribuan hulu ledak nuklir (SIPRI 2024).
• Israel: Diduga punya 80–90 senjata nuklir, tapi bukan anggota NPT.
• Iran: Masih dalam kerangka NPT, tapi terus ditekan dan dicurigai.
Lalu bagaimana nasib negara seperti Indonesia, yang menolak total kepemilikan senjata pemusnah massal?
Indonesia Netral, Tapi Tak Kebal
Indonesia adalah bagian dari Treaty of Bangkok (1995), menjadikan Asia Tenggara zona bebas senjata nuklir. Tapi netralitas tidak menjamin aman dari dampak konflik global:
• Harga Minyak Naik: Indonesia sebagai net importir akan terkena dampak ekonomi langsung.
• Sentimen Palestina-Israel: Bisa picu ketegangan sosial domestik jika tak dikelola.
• Keamanan Maritim & Pengungsi: Jika konflik melebar ke Teluk, Asia Tenggara bisa terkena imbas.
Apa yang Harus Dilakukan Indonesia?
1. Bangun Diplomasi Aktif:
Manfaatkan posisi strategis di PBB, OKI, ASEAN, dan GNB untuk dorong solusi damai.
2. Tantang Ketimpangan Global:
Dorong reformasi tata kelola senjata nuklir global. Tidak boleh ada standar ganda.
3. Perkuat Ketahanan Dalam Negeri:
• Energi terbarukan
• Narasi kontra-hoaks
• Netralitas cerdas
• Ketahanan pangan nasional (sudah jadi prioritas Presiden Prabowo)
Dunia Butuh Akal Sehat, Bukan Ancaman Baru
Di tengah dunia yang percaya bahwa memiliki senjata nuklir adalah jaminan aman, Indonesia harus tetap berdiri tegak membawa nilai yang berbeda: kekuatan moral, stabilitas internal, dan diplomasi sebagai kekuatan utama.
Karena pada akhirnya, yang dibutuhkan dunia bukan lebih banyak hulu ledak, tapi lebih banyak pemimpin yang berani bicara waras di tengah hiruk-pikuk kekuatan destruktif.




