BIMATA.ID, Jakarta — Pemerintah mencatat realisasi pendapatan negara hingga 31 Mei 2025 telah mencapai Rp995,3 triliun atau setara 33,1% dari target APBN. Penerimaan pajak menjadi kontributor terbesar dengan capaian Rp683,3 triliun (31,2% dari target), meskipun masih tertekan oleh restitusi tinggi, terutama dari PPh Badan.
Meski demikian, proyeksi penerimaan pajak di bulan Juni diperkirakan meningkat, didorong oleh penerimaan PPN dalam negeri, PPh Badan, dan pajak atas impor.
Di sisi lain, penerimaan kepabeanan dan cukai turut mencatatkan kinerja positif dengan realisasi Rp122,9 triliun atau 40,7% dari target. Kinerja ini ditopang pertumbuhan signifikan pada Bea Keluar sebesar 69,1% (yoy), seiring peningkatan harga dan volume ekspor CPO, serta pertumbuhan cukai 11,3% (yoy) yang dipengaruhi kebijakan penundaan pelunasan pita cukai.
Baca juga: Dukung Visi Prabowo, Menteri PU Tegaskan Strategi PU608 Siap Tekan ICOR
Sementara itu, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) mencapai Rp188,7 triliun atau 36,7% dari target, dengan kontribusi signifikan dari sektor SDA dan layanan K/L.
Belanja negara tercatat sebesar Rp1.016,3 triliun (28,1% dari pagu APBN), yang terdiri atas belanja pemerintah pusat Rp694,2 triliun dan transfer ke daerah Rp322,0 triliun. Belanja kementerian/lembaga difokuskan untuk menyalurkan bantuan sosial seperti PBI JKN, PKH, dan KIP. Sementara belanja non-K/L banyak digunakan untuk pembayaran subsidi dan manfaat pensiun. Realisasi transfer ke daerah tumbuh 0,3% (yoy) berkat meningkatnya penyaluran DAU dan DBH.
APBN hingga akhir Mei mengalami defisit sebesar Rp21,0 triliun atau setara 0,09% terhadap PDB. Namun, keseimbangan primer tercatat positif sebesar Rp192,1 triliun, menandakan ruang fiskal yang masih cukup kuat. Pembiayaan anggaran mencapai Rp324,8 triliun dan terus dikelola secara hati-hati menghadapi ketidakpastian global, dinamika geopolitik, serta gejolak pasar keuangan yang mempengaruhi perekonomian domestik.
Lihat juga: Presiden Prabowo-Putin Sepakat Perkuat Kemitraan Strategis Indonesia-Rusia
Sementara itu, tekanan global seperti pelemahan PMI manufaktur, lonjakan harga energi, dan fluktuasi harga komoditas menambah tantangan bagi Indonesia. Meski pasar obligasi tetap resilien dan inflasi domestik terkendali di 1,60% (yoy), indikator manufaktur masih berada di zona kontraksi. Pemerintah terus menjaga stabilitas melalui belanja yang efisien, insentif investasi, dan kebijakan fiskal yang adaptif guna menjaga momentum pemulihan ekonomi nasional.
