BIMATA.ID, Jakarta – Di tengah meredanya ketegangan antara Israel dan Iran usai gencatan senjata yang diumumkan Presiden AS Donald Trump, harga minyak dunia kembali mengalami penurunan setelah sempat melonjak drastis. Namun di balik fluktuasi harga tersebut, mantan Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengingatkan bahwa konflik energi selalu menjadi salah satu akar dari ketegangan geopolitik global.
Arcandra menjelaskan bahwa upaya negara-negara besar dalam mengamankan pasokan energi tidak hanya melalui perdagangan, tetapi juga melalui strategi militer, politik, hingga perubahan rezim.
“Perang dan konflik yang kita lihat hari ini, baik di Timur Tengah maupun kawasan lainnya, tidak bisa dilepaskan dari upaya negara mengamankan energy security-nya,” jelas Arcandra, Rabu (25/6/2025).
Baca Juga: Presiden Prabowo Bahas Penguatan Sinergi Pemerintah dan PBNU di Istana Merdeka
Empat Strategi Negara Amankan Energi
Arcandra memaparkan empat pendekatan utama yang biasa dilakukan negara-negara besar untuk memastikan pasokan energi mereka aman dan terkendali:
1. Pendekatan Militer
Arcandra mencontohkan invasi Jerman Nazi ke Polandia dalam Perang Dunia II untuk mengamankan batu bara, dan serangan Jepang ke Indonesia untuk mengambil alih pasokan minyak setelah AS melakukan embargo.
“Pergerakan Jepang ke Indonesia itu salah satunya untuk mendapatkan volume minyak. Energi menjadi alasan utama strategi militer saat itu,” ujar Arcandra.
2. Pendekatan Politik
Setelah Perang Dunia II, pendekatan politik menggantikan dominasi kekuatan senjata. Contohnya adalah pembentukan Aramco sebagai hasil perjanjian antara AS dan Arab Saudi, yang menjamin keamanan Arab sebagai imbalan ekspor minyak.
Selain itu, nasionalisasi Terusan Suez oleh Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser juga memicu krisis energi di Eropa, menyoroti pentingnya penguasaan jalur distribusi energi global.
“Selain volume, jalur distribusi seperti Terusan Suez dan Selat Hormuz kini jadi target utama pengamanan energi,” katanya.
3. Penggulingan Kepemimpinan
Arcandra juga menyinggung pergantian rezim di Iran pada 1950-an, saat Mohammad Mossadegh digulingkan karena menasionalisasi sektor minyak. Setelah pergantian itu, perusahaan minyak AS kembali masuk, menggantikan dominasi Inggris.
“Setelah Mossadegh diganti dengan Shah Iran, perusahaan-perusahaan AS seperti Exxon dan Chevron kembali ke Iran,” ungkapnya.
4. Destabilisasi Kawasan
Strategi lain adalah menciptakan ketidakstabilan kawasan penghasil minyak, seperti embargo minyak Arab terhadap AS pada 1973 yang menyebabkan krisis energi besar-besaran di Negeri Paman Sam.
“Minyak bukan hanya komoditas ekonomi, tapi juga senjata geopolitik,” ujar Arcandra, merujuk pada buku The Prize karya Daniel Yergin yang mengulas sejarah konflik energi dunia.
Kepentingan Energi Tetap Jadi Motif Utama
Arcandra menekankan bahwa meskipun bentuknya berubah — dari invasi militer hingga perjanjian politik tujuannya tetap sama: mengamankan pasokan energi untuk menjaga stabilitas ekonomi dan kekuatan nasional.
“Selama energi masih jadi tulang punggung industri dan militer, konflik akibat perebutan energi akan terus ada,” tutupnya.
Lihat Juga: TNI Tetap Jadi Pilar Utama Penjaga NKRI, Kepercayaan Publik Tetap Tinggi
