BeritaEkonomiNasionalOpiniPeristiwaPolitikUmum

Mengelola Risiko Tanpa Panik, Membaca Ulang Strategi Ekonomi RI

BIMATA.ID, Jakarta – Lonjakan imbal hasil obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) kembali mengguncang perekonomian global. Dalam sebulan terakhir, yield Treasury AS bertenor 10 tahun naik dari 4% menjadi 4,5%, sementara obligasi 30 tahun hampir menembus 5%. Kenaikan ini dinilai mencerminkan tekanan fiskal yang memburuk di AS dan mendorong perubahan arus modal global.

Fenomena ini berdampak langsung ke negara-negara berkembang seperti Indonesia. Investor global cenderung menarik dananya dari pasar negara berkembang dan kembali ke aset-aset AS, menyebabkan depresiasi nilai tukar dan peningkatan biaya utang. Indonesia, dengan utang mencapai Rp8.400 triliun atau 38% dari PDB, menghadapi risiko kenaikan beban fiskal jika tren ini berlanjut.

Lima risiko utama yang membayangi antara lain: defisit dan utang AS yang membengkak, naiknya biaya lindung risiko (CDS), berkembangnya pasar private credit tanpa pengawasan, melemahnya korelasi antara yield dan dolar AS, serta tingginya ketergantungan rumah tangga AS terhadap pasar saham. Seluruh faktor ini meningkatkan kerentanan pasar global—termasuk Indonesia.

Baca Juga: Prabowo Pilih Rusia, Bukan G7: Langkah Diplomasi Strategis dan Mandiri

Di dalam negeri, tekanan ekonomi turut meningkat. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2025 tercatat hanya 4,9%, lebih rendah dari target 5,1%. Kurs rupiah yang terus melemah, serta lonjakan harga minyak global, berpotensi membuat subsidi energi membengkak di atas Rp400 triliun, menggerus ruang fiskal untuk sektor produktif.

Meski tantangan meningkat, Indonesia masih memiliki cadangan devisa sebesar USD 136 miliar sebagai bantalan. Selain itu, program hilirisasi sumber daya alam seperti nikel dan bauksit dinilai bisa meningkatkan daya saing ekspor dalam jangka menengah—asal didukung teknologi dan sumber daya manusia yang kuat.

Untuk mengurangi dampak tekanan global, pemerintah perlu memperkuat disiplin fiskal melalui efisiensi belanja, reformasi subsidi, serta perluasan basis pajak. Di sisi lain, Bank Indonesia diharapkan menjaga stabilitas rupiah dan memperkuat koordinasi kebijakan moneter dan fiskal. Respons yang cepat, adaptif, dan terkoordinasi menjadi kunci agar perekonomian nasional tetap tangguh dan berkelanjutan.

Simak Juga: Legislator Gerindra Rokhmat Ardiyan Apresiasi Buku 100 Hari Kerja Bupati-Wabup Kuningan, Soroti Isu Sampah dan Investasi

Related Articles

Bimata