Bitcoin Diprediksi Melejit Seiring Dolar AS Melemah

BIMATA.ID, Jakarta – Mata uang kripto terbesar di dunia, Bitcoin, kembali menjadi sorotan. Kali ini bukan karena volatilitas harga jangka pendek, melainkan karena prediksi jangka panjang yang cukup berani. Zach Pandl, Direktur Riset Aset Kripto di Grayscale, memproyeksikan bahwa Bitcoin akan semakin bernilai dalam dekade mendatang terutama jika dolar AS terus melemah.
Dalam wawancaranya bersama DLNews, Pandl menjelaskan bahwa tren makroekonomi global akan menjadi faktor kunci, tidak peduli siapa yang terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat pada pemilu 2024, antara Kamala Harris atau Donald Trump.
“Jika dolar turun, maka masa depan Bitcoin terhadap mata uang tersebut akan meroket secara relatif. Selain itu, para investor akan mengalirkan uang mereka ke dalam aset kripto ini,” kata Pandl.
Baca Juga: Presiden Prabowo Yakin Indonesia Capai Swasembada Energi dalam 5 Tahun
Ia juga menambahkan bahwa Bitcoin kemungkinan besar akan semakin diakui sebagai “emas digital”, terutama jika ekonomi AS menghadapi tekanan berat. “Bitcoin akan segera mendapatkan reputasinya sebagai jenis emas digital, karena alasan yang buruk bagi ekonomi AS,” lanjutnya.
Mantan analis pasar dari Goldman Sachs ini menyoroti utang pemerintah AS sebagai bom waktu ekonomi. Dengan total utang negara mencapai US$33,2 triliun—yang melebihi 123 persen dari PDB AS risiko fiskal terus mengintai.
“Pemerintah harus menerbitkan lebih banyak utang hanya untuk membayar bunga dari utang yang ada,” jelas Pandl.
Menurutnya, jika tren ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin Amerika Serikat terpaksa mencetak uang dalam jumlah besar untuk membeli kembali obligasi mereka sendiri. Situasi itu disebut bisa memicu inflasi besar-besaran. Di sinilah Bitcoin berpotensi menjadi penyelamat.
“Harga Bitcoin pun akan diuntungkan karena pasokannya terbatas pada 21 juta unit BTC, yang berarti tidak akan pernah mengalami penurunan nilai moneter seperti yang dialami dolar,” kata Pandl. “Tahu apa yang akan terjadi pada aset ini ketika kita mengalami periode depresiasi dolar yang berkelanjutan?”
Namun, tidak semua pihak sepakat bahwa Bitcoin akan otomatis menjadi aset pelindung nilai (store of value) seperti emas. Banyak pihak masih skeptis terhadap narasi “Bitcoin sebagai safe haven”, termasuk ketika membandingkannya dengan Ethereum atau aset digital lainnya.
“Itulah sebabnya Bitcoin masih kontroversial dengan cara yang tidak dialami oleh mata uang kripto lainnya seperti Ethereum,” ujar Pandl. “Bitcoin pada dasarnya adalah taruhan terhadap dolar AS. Bitcoin diciptakan sebagai respons langsung dan penolakan terhadap sistem keuangan tradisional.”
Sementara itu, dari sisi makroekonomi, tekanan terhadap dolar AS juga datang dari arah berbeda. Para investor kini menantikan pernyataan Jerome Powell, Ketua The Fed, dalam simposium ekonomi Jackson Hole. Banyak yang berharap The Fed segera memangkas suku bunga pada pertemuan FOMC berikutnya, 18 September 2024.
“Pasar mengharapkan pendaratan ekonomi yang mulus dan pemotongan suku bunga oleh The Fed, yang bisa berujung negatif bagi dolar AS,” ujar Athanasios Vamvakidis, Kepala Strategi Valas G10 di Bank of America.
Di sisi fiskal, siapa pun yang memenangkan pemilu baik Kamala Harris maupun Donald Trump diprediksi tetap akan melanjutkan pola belanja negara yang besar. Ini dapat menambah beban utang AS yang diperkirakan menyentuh US$35 triliun dalam waktu dekat.
“Saat pasar beradaptasi dengan siapa pun kandidat yang menang, kita akan menghadapi empat tahun lagi kebijakan fiskal yang sembrono. Sejarah menunjukkan bahwa masa depan Bitcoin benar-benar mencapai titik puncaknya pada saat itu,” tutur Matthew Sigel, Kepala Riset Kripto di VanEck.
Simak Juga: Peduli Kebersihan Lingkungan, Legislator Gerindra Bersama Warga Kuningan Bersih-bersih Saluran Air